‘AMMAR BIN YASIR


Rabu, 30 November 2011


SEORANG TOKOH PENGHUNI SURGA

Seandainya ada orang yang dilahirkan di Surga, lalu di­besarkan dalam haribaannya dan jadi dewasa, kemudian dibawa ke dunia untuk jadi hiasan dan nur cahaya, maka ‘Ammar ber­sama ibunya Sumayyah dan bapaknya Yasir, adalah beberapa orang di antara mereka ….
Tetapi kenapa kita mengatakan tadi “seandainya”, seolah-­olah itu hanya pengandaian belaka, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk Surga? Ketika Rasulullah saw. bersabda:
“Shabar wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah Surga!”

kata-kata itu diucapkannya bukanlah hanya sebagai hiburan belaka, tetapi benar-benar mengakui kenyataan yang diketahui­nya dan menguatkan fakta yang dilihat dan disaksikannya ….
Yasir bin ‘Amir yakni ayahanda ‘Ammar, berangkat me­ninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya …. Rupanya ia berkenan dan merasa cocok tinggal di Mekah. Bermukimlah ia di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughi­rah….
Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari per­kawinan yang penuh berkah ini, kedua suami isteri itu dikaruniai seorang putera bernama ‘Ammar ….
Keislaman mereka termasuk dalam golongan yang mula pertama, sebagai halnya orang shalih yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan sebagai halnya orang-orang shalih yang termasuk dalam golongan yang mula pertama -masuk Islam, mereka cukup menderita karena siksa dan kekejaman Quraisy ….
Orang-orang Quraisy menjalankan siasat terhadap Kaum Muslimin sesuai suasana. Seandainya mereka ini golongan bangsa­wan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Abu Jahal orang yang menggertaknya dengan ungkap­an: “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu pada­hal mereka lebih baik daripadamu! Akan kami uji sampai di mana ketabahanmu, akan kami jatuhkan kehormatanmu, akan kami rusak perniagaanmu dan akan kami musnahkan harta bendamu!” Dan setelah itu mereka lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit.
Dan sekiranya yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekah yang rendah martabatnya dan yang miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka didera dan disulutnya dengan api bernyala.
Maka keluarga Yasir termasuk dalam golongan yang kedua ini . . . . Dan soal penyiksaan mereka, diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah dan ‘Ammar dibawa ke padang pasir Mekah yang demikian panas, lalu didera dengan berbagai adzab dan siksa!
Penderitaan dan pengalaman Sumayyah dari siksaan ini amat ngeri dan menakutkan, tetapi tidak akan kita paparkan panjang lebar sekarang ini. Insya Allah pada kesempatan lain akan kita ceritakan pengurbanan dan keteguhan hati yang di­tunjukkan oleh Sumayyah bersama shahabat-shahabat dan kawan-kawan seperjuangannya di hari-hari yang bersejarah itu….
Cukuplah kita sebutkan sekarang tanpa berlebih-lebihan bahwa syahidah Sumayyah telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh, yang dari awal hingga akhirnya telah membukti­kan kepada kemanusiaan suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya seorang bunda kandung bagi orang-orang Mu’min di setiap zaman, dan bagi para budiman di sepanjang masa ….
Rasulullah saw. tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai arena penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu apa pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri. Dan rupanya demikian itu sudah menjadi kehendak Allah … .
Maka Agama baru, yakni Agama Nabi Ibrahim yang suci murni, suatu Agama yang hendak dikibarkan panji-panjinya oleh Muhammad saw., bukanlah suatu gerakan perubahan secara vertikal dan horizontal, tetapi merupakan suatu tata cara hidup bagi manusia beriman. Dan manusia beriman ini haruslah me­miliki dan mewarisi bersama Agama itu sejarah lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan dan pengurbanannya … .
Pengurbanan-pengurbanan mulia yang dahsyat ini tak ubah­nya dengan tumbal yang akan menjamin bagi Agama dan ‘aqidah keteguhan yang takkan lapuk . . . .! Ia juga menjadi contoh teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan dan kasih sayang …. Ia adalah menara yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat Agama, kebenaran dan kebesaran­nya….
Demikianlah, berlaku pula bagi Agama Islam, qurban dan pengurbanan ini. Makna ini telah dijelaskan oleh al-Quran kepada Kaum Muslimin bukan hanya pada satu atau dua ayat. FIrman Allah swt.:
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, padahal mereka belum lagi diuji?
(Q.S. 29 al-’Ankabut:2)
Apakah kalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang ta bah ?
(Q.S. 3 Ali Imran: 142)
Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusts.
(Q.S. 29 al-’Ankabut: 3)
Apakah kalian mengira akan dibiarkan begitu saja, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian?
(Q.S. 9 Attaubat: 16)
Allah tiada hendak membiarkan orang-orang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, hingga dipisahkan­Nya mana-mana yang jelek daripada yang baik.
(Q.S. 3 Ali Imran: 179)
Dan mushibah yang telah menimpa kalian di saat ber­hadapannya dua pasukan, adalah dengan idzin Allah, yakni agar terbukti baginya orang-orang yang beriman!”
(Q.S. 3 Ali Imran: 166)
Memang, demikianlah al-Quran mendidik putera dan para pendukungnya bahwa pengurbanan merupakan essensi atau sari dari keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi ke­kejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan dan pantang mundur, hanyalah akan membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan medgagumkan ….
Oleh sebab itu di kala sedang meletakkan dasarnya, me­mancangkan tiang-tiang dan mengemukakan model contohnya, hendaklah Agama Allah ini memperkukuh diri dengan pengur­banan  dan membersihkan jiwa dengan pengurbanan harta , maka terpilihlah untuk kepentingan mulia ini beberapa orang putera, para pemuka dan tokoh-tokoh utamanya untuk men­jadi ikutan sempurna dan teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian!
Maka Sumayyah …. Yassir . . . , dan ‘Ammar dari golongan luar biasa yang beroleh barkah ini, adalah pilihan dari taqdir, yang dengan pengurbanan, ketekunan dan keuletan mereka itu, dapat memateri kebesaran dan keabadian Islam secara kuat dan kukuh ….
Telah kita katakan tadi bahwa Rasulullah saw. tiap hari berkunjung ke tempat disiksanya keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya . . . , sementara hatinya yang mulia bagaikan hancur karena santun dan belas kasihan menyaksikan mereka menerima siksa yang tak terderitakan lagi.
Pada suatu hari ketika Rasulullah saw. mengunjungi mereka, ‘Ammar memanggilnya, katanya:
“Wahai Rasulullah, adzab yang kami derita telah sampai ke puncak”.
Maka seru Rasulullah saw.:
“Shabarlah, wahai Abal Yaqdhan …. “Shabarlah, wahai keluarga Yasir ….
“Tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah Surga …..
Siksaan yang dialami oleh ‘Ammar dilukiskan oleh kawan-wannya dalam beberapa riwayat. Berkata ‘Amax bin Hakam:
‘Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa Yang diucapkannya”.
Berkata pula ‘Ammar bin Maimun:
“Orang-orang musyrik membakar ‘Ammar bin Yasir dengan api. Maka Rasulullah saw. lewat di tempatnya lalu meme­gang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda:
“Hai api, jadilah kamu sejuk dingin di tubuh ‘Ammar, sebagaimana dulu kamu juga sejuk dingin di tubuh Ibrahim …
Bagaimanapun juga, semua bencana itu tidaklah dapat menekan jiwa ‘Ammar, walau telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Ia baru merasa dirinya benar-benar celaka, ketika pada suatu hari tukang-tukang cambuk dan para pen­deranya menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kedhaliman dan kekejiannya . . . . , semenjak hukuman bakar dengan besi panas, sampai disalib di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan sampai ditenggelam­kan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulit­nya yang penuh dengan luka.
Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu mengatakan ke­padanya: “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!”, lalu diajarkan mereka kepadanya kata-kata pujaan itu, sementara ia meng­ikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya …. maka hilanglah akalnya dan terbayanglah di ruang matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, suatu dosa besar Yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi . . . , hingga beberapa saat dirasakannya siksaan orang-orang musyrik terhadap dirinya sebagai obat pembalur luka dan suatu keni’matan juga – - – -! Dan seandainya ia dibiarkan dalam perasaan itu agak beberapa jam saja, tak dapat tiada tentulah akan membawa ajalnya
Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, ialah karena jiwanya sedang berada ada kondisi puncak. Tetapi sekarang ini, demi disangkanya iwanya telah  menyerah kalah, maka dukacita dan sesal kecewa hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya Tetapi iradat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah memutuskan agar peristiwa yang mengharukan itu mendapat titik kesudahan yang amat luhur
Dan tangan wahyu yang penuh berkah itu pun terulurlah menjabat tangan ‘Ammar, bila menyampaikan ucapan selamat kepadanya: “Bangunlah hai pahlawan . . . .! Tak ada sesalan atasmu dan tak ada cacat …. !
Ketika Rasulullah saw. menemui shahabatnya itu didapati­ya ia sedang menangis, maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau seraya sabdanya:
“Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menengge­lamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu …. ?
“Benar”, wahai Rasulullah “, ujar ‘Ammar sambil meratap. Maka sabda Rasulullah sambil tersenyum: “Jika mereka memaksamu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi …. !”
Lalu dibacakan Rasullulah  kepadanya ayat mulia seperti ini:
Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan …. (Q.S. 16 an-Nahl: 106)
Kembalilah ‘Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi, terjadilah dan ‘a tidak akan peduli. jiwanya berbahagia, keimanannya di fihak yang menang! ucaapan yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh Al-Qur’an , maka apa lagi yang akan dirisaukannya . . . ?
‘Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, dan bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang maka kukuh …. !
Setelah pindahnya Rasulullah saw. ke Medinah, Kaum Muslimin tinggal bersama beliau bermukim di sana, secepatnya masyarakat Islam terbentuk dan menyempurnakan barisannya.
Maka di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini ‘Ammar pun mendapatkan kedudukan yang tinggi …. Rasulullah saw. amat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketaqwaan ‘Ammar kepada para shahabat.
Bersabda Rasulullah saw.:
“Diri ‘Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang pung­gungnya …. ! “
Dan sewaktu terjadi selisih faham antara Khalid bin Walid dengan ‘Ammar, Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang membenci ‘Ammar, maka ia akan dibenci Allah!”
Maka tak ada pilihan bagi Khalid bin Walid pahlawan Islam itu selain segera mendatangi ‘Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta ma’af …. !
Suatu peristiwa terjadi pula ketika Rasulullah saw. bersama para shahabat mendirikan mesjid di Madinah, yakni tiada lama setelah kepindahannya ke sana. Imam Ali karamallahu wajhah menggubah sebuah bait sya’ir yang didendangkan berulang-ulang diikuti oleh Kaum Muslimin yang sedang bekerja itu, dan baitnya adalah sebagai berikut:
“Orang yang memakmurkan mesjid nilainya tidak sama . bekerja sambil duduk di sini berdiri di sana … Sedang pemalas lari menghindar tertidur di sana . . .
Kebetulan waktu itu ‘Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. la juga turut berdendang, mengulang-ulangnya dengan nada tinggi …. Salah seorang kawan menyangka bahwa ‘Ammar bermaksud dengan nyanyian itu hendak menonjolkan dirinya, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata­-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah murka, sabdanya:
“Apa maksud mereka terhadap ‘Ammar
Diserunya mereka ke Surga, tapi mereka hendak meng­ajaknya ke neraka …. !
Sungguh, ‘Ammar adalah biji mataku sendiri ….
Jika Rasulullah saw. telah menyatakan kesayangannya terhadap seorang Muslim demikian rupa, pastilah keimanan orang itu, kecintaan dan jasanya terhadap Islam, kebesaran jiwa dan ke­tulusan hati serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan …. !
Demikian halnya ‘Ammar ….
Berkat ni’mat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada ‘Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Hingga disebabkan tingkatan petunjuk dan ke­yakinan yang telah dicapainya, maka Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai contoh teladan bagi para shahabat, sabdanya:
“Contoh dan ikutilah setelah kematianku nanti Abu Bakar dan Umar . . . , dan ambillah pula hiclayah yang dipakai ‘Ammar untuk jadi bimbingan!”
Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskannya sebagai berikut:
la adalah seorang yang bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru …. seorang yang amat pendiam dan tak suka banyak bicara ….
Nah, bagaimanakah kiranya garis kehidupan raksasa pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam, dan di waktu yang bersamaan jiwanya telah ditempa dengan ketabahan yang amat mengagum­kan dan kebesaran yang luar biasa . . . ? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur dan Mu’min yang tulus serta pejuang yang berani mati ini.
Sungguh telah diterjuninya bersama Rasulullah sebagai gurunya semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud, Khan­daq, Tabuk . . . pendeknya semua tanpa kecuali …. Dan tatkala Rasulullah telah mendahuluinya ke ar Rafiqul A’la, maka raksasa ini tidaklah berhenti, tetapi melanjutkan perjuangannya terus ­menerus ….
Di kala Kaum Muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Perri dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, ‘Ammar selalu berada di barisan pertama . . . , sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tak pernah meleset, ia sebagai seorang Mu’min yang shalih dan mulia tidak satu pun yang dapat menghalanginya dalam mencapai ridla Allah.
Dan tatkala Amirul Mu’minin Umar memilih calon-calon wali negeri secara cermat dan hati-hati bagi Kaum Muslimin, maka matanya tetap tertuju dan tak hendak beralih dari ‘Ammar bin Yasir …. Ia segera menemuinya dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas’ud sebagai Bendaharanya. Dan kepada penduduknya Umar menulis sepucuk Surat berita gembira dengan diangkatnya wali negeri baru itu, katanya:
“Saya kirim kepada tuan-tuan ‘Ammar bin Yasir sebagai ‘Amir, dan Ibnu Mas’ud sebagai Bendahara dan Wazir … Kedua mereka adalah orang-orang pilihan, dari golongan shahabat Muhammad saw, dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar. . . .!”
Dalam melaksanakan pemerintahan, ‘Ammar melakukan suatu sistim yang rupanya tidak dapat diikuti oleh orang-orang yang rakus akan dunia, hingga mereka mengadakan atau hampir mengadakan persekongkolan terhadap dirinya …. Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah kecuali keshalihan, zuhud dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, yaitu Ibnu Abil Hudzail, bercerita:
“Saya lihat ‘Ammar bin Yasir sewaktu menjadi ‘Amir di Kufah, membeli sayuran di pasar lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, dan membawanya pulang . . . .”.
Dan salah seorang awam  berkata kepadanya sewaktu ia menjadi Amir di Kufah : “ hai orang yang telinganya  terpotong! “, menghinanya dengan telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah, tetapi jawaban Amir yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari:
“Yang kamu cela itu adalah telingaku yang terbaik …. Karena ia ditimpa kecelakaan waktu perang fi sabilil­lah…. “.
Memang telinganya putus dalam perang sabil di Yamamah
. , yakni salah satu di antara hari-hari gemilang bagi ‘Ammar
. . . Raksasa ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu ,barisan tentara Musailamatul Kadzab sehingga melumpuhkan  kekuatan musuh ….
Ketika dilihatnya gerakan Muslimin mengendor segera dibangkitkannya semangat mereka dengan seruannya yang gemuruh, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak  panah yang lepas dari busurnya ….
Abdullah bin Umar r.a. menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
“Waktu perang Yamamah saya lihat ‘Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru: “Hai Kaum Muslimin, apakah tuan-tuan hendak lari dari Surga … ?Inilah saya ‘Ammar bin, Yasir, kemarilah tuan tuan …. !”
Ketika saya melihat dan memperhatikannya, kiranya sebelah telinganya telah putus beruntai-untai, sedang ia berperang dengan amat sengitnya  . . .”
Wahai, barangsiapa yang masih meragukan kebesaran Mu­hammad saw., seorang Rasul yang benar dan guru yang sem­purna, baiklah ia berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan shahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya: “Siapakah yang akan mampu me­ngemukakan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang Rasul mulia dan maka guru utama?”
Jika mereka menerjuni suatu perjuangan di jalan Allah, pastilah mereka akan maju ke depan bagaikan orang yang hendak mencari maut dan bukan merebut kemenangan …. !
Jika mereka para khalifah dan hakim-hakim pengadilan, maka mereka takkan keberatan memerahkan susu untuk wanita janda tua atau mengadon tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagai dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar …. !
Dan jika mereka para pembesar, maka mereka takkan malu dan merasa segan untuk memikul makanan yang dhkat dengan tali di atas punggung mereka, seperti kita saksikan pada ‘Ammar; atau menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi menjalin daun kurma untuk kantong atau bakul sebagai yang diperbuat olen Salman …. !
Wahai, marilah kita tekurkan kening dan tundukkan kepala kita, sebagai ta’dhim dan penghormatan kepada Agama yang telah mengajari mereka semua, dan kepada Rasulullah yang telah mendidik mereka …. dan sebelum Agama serta Rasulullah itu, terutama kepada Allah yang Maha tinggi dan Maha Agung, yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik ummat yang pernah dilahirkan sebagai teladan bagi seluruh manusia        I
Ketika itu Hudzaifah ibnul Yaman seorang yang ahli tentang bahasa rahasia dan bisikan ghaib, sedang berkemas-kemas menghadapi panggilan Illahi atau menghadapi sekarat mautnya. Kawan­kawannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya: “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara ummat … ?” Sambil mengucapkan kata-katanya yang akhir, Hudzaifah menjawab:
“Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tak hendak berpisah dengan kebenaran … . !”
Benar, ‘Ammar akan tetap mengikuti kebenaran itu ke mana saja perginya . . . . Dan sekarang sementara kita menyelusuri jejak langkahnya, dan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya, marilah kita pergi menghampiri suatu peristiwa besar ….!Hanya sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan amat mengharukan itu, baik tentang keutamaan dan kesempurnaannya, tentang kemampuan dan keunggulannya, maupun tentang kegigihan dan kesung­guhannya.
Marilah kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa lain yang terjadi sebelumnya, ialah ungkapan Rasulullah mengenai peristiwa yang akan menimpa ‘Ammar di kemudian hari!
Hal itu terjadi tidak lama setelah menetapnya Kaum Mus­limin di Madinah. Dan Rasul al-Amin yang dibantu oleh shaha­bat-shahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb mereka, membina rumah dan mendirikan mesjid-Nya. Hati yang beriman dipenuhi kegembiraan dan sinar harapan  menyampaikan puji dan syukur kepada Allah …!
Semua bekerja dengan riang gembira . . . ,semua mengangkat batu .Mengaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok, sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedang cakrawala  bahagia bergema dipenuhi nyanyian mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu dan seronok:
“Andainya kita duduk-duduk berpangku tangan, sedang Nabi sibuk bekerja tak pernah diam ….
Maka perbuatan kita adalah perbuatan sesat lagi menyesat­kan          Pemikian mereka bernyanyi dan berdendang. Lalu alunan suara mereka menyanyikan lagu lainnya:
“Ya Allah, hidup bahagia adalah hidup di akhirat
Berilah rahmat Kaum Anshar dan Kaum Muhajirat …. setelah itu terdengar pula lagu ketiga;
“Apakah akan sama nilainya        ?
Orang yang bekerja membina masjid
Sibuk bekerja, baik berdiri maupun duduk
Dengan yang menyingkir berpangku tangan…….
Tak ubahnya mereka bagai anai-anai yang sedang sibuk bekerja, bahkan mereka adalah balatentara Allah yang me­manggul bendera-Nya dan membina bangunan-Nya.
Sementara Rasulullah yang budiman lagi terpercaya tak hendak terpisah dari mereka, mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sukar . . . . dan alunan suara mereka yang sedang berdendang melukiskan ke­gembiraan yang tulus dan hati yang pasrah . . . , sedang langit tempat mereka bernaung berbangga diri terhadap bumi tempat mereka berpijak . . . , pendeknya kehidupan yang penuh gairah sedang menyelenggarakan pesta pora yang paling meriah.
Maka di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, kelihatanlah ‘Ammar bin Yasir sedang mengangkat batu besar dari tempat pengambilannya ke perletakannya.
Tiba-tiba “rahmat kurnia Allah” yakni Muhammad Rasul­ullah melihatnya, dan rasa santun belas kasihan telah membawa beliau mendekatinya, dan setelah berhampiran maka tangan beliau yang penuh barkah itu mengipaskan debu yang menutupi kepala ‘Ammar lalu dengan pandangan yang dipenuhi nur Ilahi diamat-amati wajah yang beriman diliputi ketenangan itu, kemu­dian bersabda di hadapan semua shahabatnya:
“Aduhai Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka …. . 1),
Ramalan ini diulangi oleh Rasulullah sekali lagi . . . , ke­betulan bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat ‘Ammar bekerja, hingga sebagian kawannya menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para shahabat sama terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasul­ “Tidak, ‘Ammar tidak apa-apa, hanya nanti ia akan di­bunuh oleh golongan pendurhaka
Maka wahai, siapakah kiranya yang dimaksud dengan golonggan tersebut ….
Dan bilakah Berta di manakah terjadinya peristiwa itu…….
‘Ammar mendengarkan ramalan itu dan meyakini kebenaran pandangan tembus yang disingkapkan oleh Rasul yang utama. Tetapi ia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid di setiap detik baik siang maupun malam
Dan hari-hari pun berlalu              tahun demi tahun silih berganti. Rasulullah saw. telah kembali ke tempat tertinggi disusul oleh Abu Bakar ke tempat ridla Ilahi …. lalu berangkat­ pula Umar pergi mengiringi …. Setelah itu khilafat dipegang oleh Dzun Nurain Utsman bin ‘Affan ….
Sementara itu musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah, berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah ….
Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh atau subversi ini, yang gerakannya merembes ke Madinah tak ubahnya bagai angin panas, dan bergerak dari negeri yang kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh ummat  islam
Berhasillah usaha mereka terhadap umar membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkan, mereka sebarkan fitnah  dan menyalakan apinya ke sebagian besar negeri-negeri islam. Dan mungkin Ustman r.a tidak memperhatikan perhatian khusus  terhadap masalah ini hingga terjadi pula yang menyebabkan syahidnya ustman dan terbukanya pintu fitnah yang melanda kaum muslimin . . .
Mu’awiyah bangkit hendak merebut jabatan khalifah dari tangan khalifah Ali karamallahu wajhah yang baru diangkat dan dibai’at. Dan pendirian shahabat pun bermacam-macam, ada yang menghindar dan mengunci diri di rumahnya, dengan mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya:
“Siapa yang menyerukan marilah shalat, saya penuhi …. Dan siapa yang mengatakan: marilah mencapai bahagia, saya turuti . . . .
Tetapi yang mengatakan: marilah bunuh saudaramu yang Muslimin dan marilah rampas harta bendanya, maka saya jawab: tidak. . .!”
Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu’awiyah. Dan ada pula yang berdiri mendampingi Ali, membai’at dan pengang­katannya sebagai khalifah Kaum Muslimin ….
Dan tahukah anda di pihak mana ‘Ammar berdiri waktu itu? pihak siapakah berdirinya laki-laki yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Dan ambillah olehmu petunjuk yang dipakai oleh ‘Ammar sebagai bimbingan . . . !”
bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah pula bersabda:
“Barangsiapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan di­musuhi oleh Allah . . . !”
orang yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, maka beliau segera menyambut dengan sabdanya: “Selamat datang bagi orang baik dan diterima baik . . . , idzinkanlah ia masuk  . . . !”
la berdiri di samping Ali bin Abi Thalib, bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran teguh memegang janji! Ali adalah Khalifah Kaum Muslimin, berhak menerima bai’at sebagai pemimpin ummat. Dan khilafat itu diterimanya, karena memang ia berhak untuk itu dan layak untuk menjabatnya …. Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan­tamaan yang menjadikan kedudukannya di samping Rasul­ tak ubah bagai kedudukan Harun di samping Musa …. Dengan cahaya pandangan ruhani dan ketulusannya, ‘Ammar selalu mengikuti kebenaran ke mana juga perginya, dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Dan menurut keyakinannya, tak seorang pun berhak atas hal ini dewasa itu selain Imam Ali, oleh sebab itulah ia berdiri di sampingnya ….
Dan Ali r.a. sendiri merasa gembira atas sokongan yang diberikannya itu, inungkin tak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak Yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pencinta kebenaran ‘Ammar datang kepadanya dan berdiri di sisinya ….
Kemudian datanglah saat perang Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Dan ‘Ammar ikut bersamanya. Waktu itu usianya telah 93 tahun ….
Apa dalam usia 93 tahun ia masih pergi ke medan juang
Benar . . . , selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas kewajibannya, Bahkan ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang muda berusia 30 tahun ….
Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan kata-kata mohon perlindungan berikut:
“Aku berlindung kepada Allah dari fitnah …. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah . . . .”.
Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan do’a yang tak putus lekang dari bibirnya. Dan setiap hari ber­lalu setiap itu pula ia memperbanyak do’a dan mohon perlin­dungannya itu . . . , seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampiri juga.
Dan tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Maka di hari perang Shiffin walaupun sebagai telah kita katakan usianya telah 93 tahun, ia bangkit menghunus pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.
Pandangan terhadap pertempuran ini telah dima’lumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:
“Hai ummat manusia!
Marilah kita berangkat menuju gerombolan yang mengaku­ng-aku hendak menuntutkan bela Utsman!
Demi Allah! Maksud mereka bukanlah hendak menuntutkan belanya itu, tetapi sebenarnya mereka telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka. Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan pendahulu memeluk Agama Islam. Argumentasi apa sehingga mereka merasa berhak untuk ditaati oleh Kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran . . . !
Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela kematian Utsman, padahal tujuan mereka Yang sesungguhnya ialah hendak menjadi raja dan penguasa adikara …. ! “
Kemudian diambilnya bendera dengan tangannya, lalu dikibarkannya tinggi-tinggi di atas kepada sambil berseru:
“Demi Dzat yang menguasai nyawaku…Saya telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasul­ullah saw., dan inilah aku siap berperang pula dengan mengibarkannya sekarang ini …!
Demi nyawa saya berada dalam tangan-Nya … Seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga ber­hasil mencapai kubu pertahanan kita, saya tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang haq, dan bahwa mereka di pihak Yang bathil …. ! “
Orang-orang mengikuti ‘Ammar, mereka percaya kebenaran  ucapannya.
Berkatalah Abu Abdirrahman Sullami: “Kami ikut serta dengan Ali r.a. di pertempuran Shiffin, maka saya lihat ‘Ammar bin Yasir r.a. setiap ia menyerbu ke sesuatu jurusan, atau turun ke sesuatu lembah, para shahabat Rasulullah pun mengikutinya, tak ubahnya ia bagai panji-panji bagi mereka …. ! “
Dan mengenai ‘Ammar sendiri, sementara ia menerjang dan menyusup ke medan juang, ia yakin akan menjadi salah seorang syuhadanya . . . . Ramalan Rasulullah saw. terang terpampang di ruang matanya dengan huruf-huruf besar:
“Ammar akan dibunuh oleh golongan pendurhaka … !
.
Oleh sebab itu suaranya bergema di serata arena dengan senandung ini:
“Hari ini daku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta
…. Muhammad dan para shahabatnya…….. !”
Kemudian bagai sebuah peluru dahsyat ia menyerbu ke arah Mu’awiyah dan orang-orang sekelilingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring yang menggetarkan:
“Dulu kami hantam kalian di saat diturunkannya.
Kini kami hantam lagi kalian karena menyelewengkannya
Tebasan maut menghentikan niat jahat
Dan memisahkan kawanan pengkhianat
Atau al-Haq berjalan kembali pada relnya”.
Maksudnya dengan sya’irnya itu, bahwa para shahabat yang terdahulu dan ‘Ammar termasuk salah seorang di antara mereka. Dulu telah memerangi golongan Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan ayah Muawiyah pemanggul panji‑
panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin …… Mereka perangi orang-orang itu karena secara terus terang al-Quran menitahkan­nya disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik.
Dan sekarang di bawah pimpinan Muawiyah, walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun al-Quranul Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka, tetapi menurut ijtihad ‘Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pengertiannya terhadap maksud dan tujuan al-Quran , meyakin­kan dirinya akan keharusan memerangi mereka, sampai barang yang dirampas itu kembali kepada pemiliknya, serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama­-lamanya ….
Juga maksudnya, bahwa dulu mereka memerangi orang-orang Bani Umayyah karena mereka kafir kepada Agama dan kafir kepada al-Quran …. Dan sekarang mereka menggempur orang­-orang itu karena mereka menyelewengkan Agama dan menyim­pang dari ajaran al-Quranul Karim serta mengacaukan ta’wil dan salah menafsirkannya, dan mencoba hendak menyesuaikan tujuan ayaat-ayatnya dengan kemauan dan keinginan mereka pribadi
Maka tokoh tua yang berusia 93 tahun ini menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang menonjol dengan gagah berani. Dan ‘sebelum ia berangkat ke rafiqul ‘la, ia tanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan di­tinggalkannya sebagai contoh teladan perjuangannya yang besar dan mulia lagi berkesan dan mendalam ….
Orang-orang dari pihak Mu’awiyah mencoba sekuat daya ntuk menghindari ‘Ammar, agar pedang mereka tidak me­nyebabkan kematiannya hingga ternyata bagi manusia bahwa merekalah golongan pendurhaka ……
Tetapi keperwiraan ‘Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara juga, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Maka sebagian dari anak buah Mu’awiyah mengintai-ngintai kesempatan untuk menewaskannya, hingga telah kesempatan itu terbuka mereka laksanakanlah dan wallah ‘Ammar di tangan tentara Mu’awiyah………..
Sebagian besar dari tentara Mu’awiyah terdiri dari orang­rang yang baru saja masuk Agama Islam, yakni orang-orang yang menganutnya tidak lama setelah bertalu-talunya genderang menangan terhadap kebanyakan negeri yang dibebaskan islam, baik dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persi.
Maka mereka inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api perang saudara yang dimulai oleh pem­bangkangan Mu’awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali sebagai Khalifah dan Imam …Jadi mereka inilah yang bagaikan kayu bakar menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejolak.
Dan bagaimana juga gawatnya pertikaian ini, sedianya akan dapat diselesaikan dengan jalan damai andainya masih terpegang dalam tangan Muslimin pertama. Tetapi demi bentuknya jadi meruncing, ia jatuh ke dalam tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli akan nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar ….
Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar dan ramalan Rasul­ullah saw. yang didengar oleh semua shahabatnya sewaktu mereka sedang membina masjid di Madinah di masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut-ke mulut:
“Aduhai Ibnu Sumayyah ….
ia dibunuh oleh golongan pendurhaka!”
Maka sekarang tahulah orang-orang siapa kiranya golongan pendurhaka itu . . . , yaitu golongan yang membunuh ‘Ammar …. yang tidak lain dari pihak Mu’awiyah …. !
Dabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam lena di tempat bahengan kenyataan ini semangat dan kepercayaan pengikut­-pengikut Ali kian bertambah. Sementara di pihak Mu’awiyah, keraguan mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia-sedia hendak memisahkan diri dan ber­gabung ke pihak Ali ….
Mengenai Mu’awiyah, demi mendengar peristiwa yang telah terjadi ia segera keluar mendapatkan orang banyak dan me­nyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah benar-benar telah meramalkan bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh golongan pemberontak . . . . Tetapi siapakah yang telah membunuhnya itu . . . . ? Kepada orang-orang sekeliling diserukannya: “Yang telah membunuh ‘Ammar ialah orang-orang yang keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang …. !
Maka tertipulah dengan ta’wil yang dicari-cari ini orang-­orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, semen­tara pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan ….
Adapun ‘Ammar, ia dipangku oleh Imam Ali ke tempat,Ia menshalatkannya bersama Kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya! Benar, dengan pakaian yang dilumuri oleh darahnya yang bersih suci! Karena tidak satu pun dari sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang suci utama dari tingkatan Ammarr
Dan Kaum Muslimin pun berdiri keheran-heranan di kubur­nya …Semenjak beberapa saat yang lalu ‘Ammar berdendang di depan mereka di atas arena perjuangan . .. , hatinya penuh dengan kegembiraan, tak ubah bagai seorang perantau yang merindukan kampung halaman tiba-tiba dibawa pulang, dan terlompatlah dari mulutnya seruan:
“Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih ter­cinta. . . .
Dengan Muhammad saw. dan para shahabatnya………….
Apakah ia telah mengetahui hari yang mereka janjikan akan bertemu dan waktu yang sangat ia tunggu-tunggu Para shahabat saling jumpa-menjumpai dan bertanya: “Apakah anda masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. . . . , dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu sabdanya:
“Surga telah merindukan ‘Ammar.. . . “.
”Benar”, ujar yang lain. “dan waktu itu juga disebutnya nama­ nama lain , di antaranya ‘Ali, Salman dan Bilal .
Nah, bila demikian halnya, maka surga benar-benar telah merindukan ‘Ammar …        Dan jika demikian, maka telah lama surga merindukannya, sedang kerinduannya tertangguh, me­nunggu ‘Ammar menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya . . . . Dan tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhinya dengan hati gembira.
Maka sekarang ini, tidakkah sudah selayaknya ia memenuhi panggilan rindu yang datang menghimbau dari haribaan surga
Memang, datanglah saatnya ia mengabulkan panggilan itu, karena tak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula …Demikianlah dilemparkannya tombaknya, dan setelah itu ia pergi berlalu ….
Dan ketika tanah pusaranya didatarkan oleh para shahabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam lena di tempat bahagia …. nun di sana dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti ….

0 komentar:

Lokasi