SA’AD BIN ABI WAQQASH


Rabu, 30 November 2011


SINGA YANG MENYEMBUNYIKAN KUKUNYA

Berita yang datang secara beruntun menyatakan serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persi terhadap Kaum Muslimin, amat menggelisahkan hati Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab …. Disusul kemudian dengan berita tentang pertempuran Jembatan, di mana empat ribu orang pihak-Kaum Muslimin gugur sebagai syuhada dalam waktu sehari, begitu pun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Irak terhadap perjanjian-perjanjian yang mereka perbuat, Berta ikrar Yang telah mereka akui . . . , menyebabkan khalifah mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persi.
Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, berangkatlah ia dengan meninggalkan Ali karamal­lahu wajhah di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi belum berapa jauh dari kota, sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara Para shahabat untuk melakukan tugas tersebut.

Usul ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin ‘Auf yang me­nyatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mu’minin dengan cara seperti ini, sementara. Islam sedang menghadapi hari-harinya Yang menentukan, adalah perbuatan yang keliru.
Umar pun menyuruh Kaum Muslimin berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah “Asshalata jami’ah “; sementara Ali dipanggil datang, yang bersama beberapa orang penduduk
Madinah berangkat menuju tempat perhentian Amirul Mu’­minin. Akhirnya tercapailah persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan memilih se­orang panglima lain yang akan memimpin peperangan meng­hadapi Persi.
Amirul Mu’minin tunduk pada keputusan ini, lalu menanya­kan kepada para shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka sama tertegun dan berfikir. Tiba-tiba ber­serulah Abdurrahman bin ‘Auf: “Saya telah menemukannya …!””Siapa dia?” tanya Umar.
Ujar Abdurrahman: “Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu Saad bin Malik az-Zuhri!”
Pendapat ini disokong sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mu’minin meminta datang Sa’ad bin Malik az-Zuhri yang tiada lain Sa’ad bin Abi Waqqash. Lalu diangkatnya sebagai Amir atau gubernur militer di Irak yang bertugas mengatur pemerintahan dan sebagai panglima tentara.
Nah, siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah dia yang bila datang kepada Rasulullah ketika berada di antara shahabat-shahabatnya, akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, sabdanya: “Ini dia pamanku … ! Siapa orang yang punya paman seperti paman­ku ini … ?” Itulah dia Sa’ad bin Abi Waqqash! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah ibunda dari Rasulullah saw.
Sa’ad masuk Islam selagi berusia 17 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri, katanya: “Pada suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk Islam”. Maksudnya bahwa ia adalah salah seorang di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam.
Maka pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang Agama baru yang dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah al-Arqam untuk tempat per­temuan dengan shahabat-shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan kanannya untuk bai’at kepada Rasulullah saw.
Sementara itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyata­kan keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar, yaitu Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.
Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi di antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi dendang dan senandungnya. Pertama: bahwa dialah yang mula-mula melepas­kan anak panah dalam membela Agama Allah, dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan kedua: bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah saw. di waktu perang Uhud:
“Panahlah hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagi­mu. . ..I”
Memang! Kedua ni’mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada Allah, katanya: “Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah … !” Dan berkata pula Ali bin Abi Thalib: “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad . . . Saya dengar beliau bersabda waktu Perang Uhud:
“Panahlah, hai Sa’ad! Ibu bapakku  menjadi jaminan bagimu. . ..I”
Sa’ad termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. la mempunyai dua macam senjata yang amat ampuh: panahnya dan do’anya. Jika ia memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya . . . , dan jika ia menyampaikan suatu  permohonan kepada Allah pastilah di­kabulkan-Nya . . .! Menurut Sa’ad sendiri dan juga pars shahabat­nya, hal itu adalah disebabkan do’a Rasulullah juga bagi pribadi­nya. Pada suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan dari Sa’ad sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diaju­kannyalah do’a yang maqbul ini:
“Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkan­lah do’anya … ! “
Demikianlah ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai tolannya bahwa do’anya tak ubah bagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri, hingga ia tak hendak berdo’a bagi kerugian seseorang, kecuali dengan menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh ‘Amir bin Sa’ad:
“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki ‘Ali, Thalhah dan Zubair. Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak menurut, maka katanya: Walau begitu saya do’akan kamu kepada Allah “. Ujar laki-laki itu: “Rupanya kamu hendak menakut­-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi . . . ‘Maka Sa’ad pun pergi wudlu dan shalat dua raka’at. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya: ‘Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan mereka itu mengundang amarah murka-Mu, maka mohon dijadikan hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran … ! ” Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki tadi dan dibawa­nya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan­-bulanan injakan dan sepakannya hingga akhirnya tewas me­nemui ajalnya … ! “
Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan keikhlasannya yang mendalam. Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras
membaja serta keikhlasannya dalam dan tidak bernoda. Dan untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.
Dalam kehidupan akhirnya Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta banyak dan harta halal jarang sekali dapat terhimpun, maka di tangan Sa’ad hal itu telah terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus.
Di samping itu ia dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam coal membersihkan harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal, diimbangi — bahkan mungkin diatasi — oleh kesanggupan menafqahkannya di jalan Allah.
Ketika Hajji Wada’, Sa’ad ikut bersama Rasulullah saw. Kebetulan ia jatuh sakit, maka Rasulullah datang menengoknya.
Tanya Sa’ad: “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja. Bolehkah saya sha­daqahkan dua pertiga hartaku?” “Tidak “jawab Nabi. “Kalau begitu, separohnya?”tanya Sa’ad pula. “Jangan”, ujar Nabi. “Jadi, sepertiganya?” “Benar” ujar Nabi; dan sepertiga itu pun sudah banyak . .. , lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang lain. Dan setiap nafqah yang anda keluarkan dengan mengharap keridlaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran,bahkan walau sesuap makanan yang ands taruh di mulut isteri ands!”
Beberapa lama Sa’ad hanya mempunyai seorang puteri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia beroleh lagi beberapa orang putera. Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering menangis. Jika didengarnya Rasulullah berpidato dan menasihati ummat, air matanya bercucuran hingga membasahi haribaannya. la adalah seorang shahabat yang diberi ni’mat taufiq dan diterima ‘ibadahnya.
Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang duduk-duduk ber­sama para shahabat, tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang sedang me­nunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para shahabat, sabdanya:
“Sekarang akan muncul di hadapan tuan-tuan seorang laki­laki penduduk surga “.
Para shahabat pun nengok kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah kiranya orang berbahagia yang beruntung beroleh taufiq dan karunia itu. Dan tidak lama antaranya mun­cullah di hadapan mereka Sa’ad bin Abi Waqqash ….
Selang beberapa lama, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash datang kepadanya meminta jasa baiknya dan mendesak agar menunjuk­kan kepadanya jenis ibadat dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima gan­jaran tersebut yang telah diberitakan sehingga menjadi daya tarik untuk mengerjakannya:
Maka ujar Sa’ad: “Tak lebih dari amal ibadat yang biasa kita kerjakan, hanya saja saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara Kaum Mus­limin!”
Nah, itulah dia “singa yang selalu menyembunyikan kuku­nya” yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf.
Dan inilah tokoh yang dipilih Umar untuk memimpin per­tempuran Qadisiyah yang dahsyat itu! Kenapa memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit yang sedang dihadapi Islam dan Kaum Muslimin, karena keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mu’minin:
—    Ia adalah orang yang maqbul do’anya … ; jika ia memohon diberi kemenangan oleh Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya!
—    la seorang yang hati-hati dalam makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.
—    Salah seorang anggota pasukan berkuda di perang Badar, di perang Uhud, pendeknya di setiap perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah saw….
—    Dan satu lagi yang tak dapat dilupakan oleh Umar, suatu keistimewaan yang tak dapat diabaikan harga, nilai dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.
Umar tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti Rasulullah ….Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi puteranya dari Agama Allah mengalami kegagalan. Maka ditempuhnya segala jalan yang tak dapat tidak, pasti akan melemahkan se­mangat Sa’ad dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya.
Wanita itu menyatakan akan mogok makan dan minum, sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan atau minuman hingga hampir menemui ajalnya.
Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual Agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.
Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya untuk menyaksi­kannya kali yang terakhir, dengan hadapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibunya dalam sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang amat meng­hancurkan hatinya yang bagaikan dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang ….
Tapi keimanannya terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang mana pun juga. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan dikatakannya dengan suara kerns agar ke­dengaran olehnya:
“Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah anakanda akan meninggalkan Agama ini walau ditebus dengan apa pun juga . . .! Maka terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak … !”
Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat ke­padanya, sebagai berikut:
Dan seandainya kedua orang tun memaksamu untuh mempersehutukan Ahu, padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti kedua‑
(Q.S. 31 Luqman: 15)
Nah, tidakkah ini betul-betul singa yang menyembunyikan kukunya … ?
Jika demikian halnya, pantaslah Amirul Mu’minin dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah di tangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau pasukan Persi yang tidak kuiang jumlahnya dari seratus ribu prajurit yang terlatih dan diperlengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling ditakuti dunia waktu itu, dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol, dan ahli-ahli siasatnya yang paling cerdik dan licik … !
Memang, kepada tentara musuh yang menakutkan inilah Sa’ad datang dengan membawa tigapuluh ribu mujahid, tidak lebih . . .; di tangan masing-masing tergenggam panah dan tum­bak. Hanya sernata-mata panah dan tombak . . . tetapi dalam dada menyala kemauan dari Agama baru, yang membuktikan keimanan, kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid …
Dan kedua pasukan itu pun bertemulah.  Tetapi belum, mereka belum lagi bertempur. Di sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan pengarahan dari Amirul Mu’minin Umar . . . . Di bawah ini tertera surat Umar yang memerintahkannya segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu gerbang me­masuki Persi, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang semuanya merupakan petunjuk dan cahaya:
“Wahai Sa’ad bin Wuhaib! Janganlah anda terpedaya di hadapan Allah, mentang-mentang dikatakan bahwa anda adalah paman dan shahabat Rasulullah! Sungguh, tak ada hubungan keluarga antara seseorang dengan Allah kecuali dengan mentaati-Nya! Semua manusia baik yang mulia maupun yang hina, pada pandangan Allah serupa tidak berbeda . . . . Allah Tuhan mereka, sedang mereka hamba­Nya . .. Mereka berlebih berkurang dalam kesehatan, dan akan beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan ketaatan. Maka perhatikanlah segala sesuatu yang pernah anda lihat pada Rasulullah saw. semenjak ia diutus sampai meninggalkan kita dan pegang teguhlah, karena itulah yang harus diikuti … ! “
Kemudian katanya pula:
“Tulislah kepadaku segala hal ikhwal tuan-tuan bagai­mana kedudukan tuan-tuan, dan di mana pula posisi musuh terhadap tuan-tuan . .. , terangkan sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan tuan-tuan … ! “
Sa’ad pun menulis surat kepada Amirul Mu’minin dan me­nuliskan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci.
Sa’ad telah sampai di Qadisiyah, sementara seluruh tentara dan rakyat Persia berhimpun, sesuatu hal yang tak pernah mereka lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh pang­limanya yang ulung dan paling terkenal, yaitu Rustum.
Sebagai balasan surat dari Sa’ad yang baru dikirimnya, Amirul Mu’minin menulis:
“Sekali-kali janganlah anda gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Bermohonlah kepada Allah dan tawakkal­lah kepada-Nya! Dan kirimlah sebagai utusan, orang-orang yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah . . .! Dan tulislah surat kepadaku setiap hari … !”
Kembali Sa’ad mengirim surat kepada Amirul Mu’minin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkudanya, dan mulai bergerak menuju Kaum Muslimin . . . . Balasan dari Umar datang yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad.
Sa’ad bin Abi Waqqash seorang anggota pasukan berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah dan termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam, pahlawan dari ber­bagai perjuangan bersenjata, pancungan dan panahnya yang tak pernah meleset, sekarang tampil mengepalai tentaranya dalam menghadapi salah satu peperangan terbesar dalam sejarah, tak ubahnya bagi seorang prajurit  biasa … ! Baik kekuatan maupun kedudukannya sebagai pemimpin, tidak mampu mempengaruhi dan memperdayakan dirinya untuk mengandalkan pendapatnya semata. Tetapi ia selalu menghubungi Amirul Mu’minin di Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengirimnya sepucuk surat tiap hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu telah hampir ber­kecamuk ….
Sebabnya tidak lain, ialah karena Sa’ad ma’lum bahwa di Madinah, Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri . . . , tetapi tentulah ia akan bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan dengan shahabat-shahabat utama Rasulullah. Dan bagaimana juga gawatnya suasana perang, Sa’ad tak hendak kehilangan
barqah dan manfa’atnya musyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tabu benar bahwa di pusat komando itu pimpinannya langsung dipegang Umar al-Faruk, pembangkit ilham atau inspirasi agung ….
Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad. Dikirimnya se­rombongan di antara shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya iman kepada Allah dan Agama Islam.
Soal jawab di antara mereka dengan Panglima Persi itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka me­ngatakan:
“Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebas kan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan dari ke­dhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam …. Maka siapa-siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah … ! ” “Apa janji yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. Jawab pembicara: “Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup . . .! “
Para utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad  dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain daripada perang. Dan airmata Sa’ad berlinang-linang …. la berharap se­andainya saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Bisul-bisul bertonjolan di sekujur tubuhnya hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung kudanya dan menerjuni pertempuran yang sengit berkuah darah!
Seandainya saat pecah perang itu terjadi sebelum ia jatuh ia akan menunjukkan prestasi tinggi . . . . Adapun sekarang ini . . *. Tetapi tidak, Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena kata-­kata itu menunjukkan kelemahan, sedang orang Mu’min yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah!
Ketika itu bangkitlah “singa yang menyembunyikan kuku­nya” itu, lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut ini:
Bis millahirrah ma nirrahim
Telah Kami cantumhan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami catat dalam (Lauh Mahfudh) peringatan bahwa: Bumi itu diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih – . – .
(Q.S. 21 al-Ambiya:105)
Setelah menyampaikan pidatonya Sa’ad melakukan shalat dhuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap ke­pada mereka, ia mengucapkan takbir empat kali: Allaahu Akbar
, Allaahu Akbar . . . , Allaahu Akbar. . . , Allaahu Akbar ….
Alam pun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, dan sambil mengulurkan tangannya kemuka bagai anak panah yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad berseru kepada anak buahnya: “Ayohlah maju dengan barkat dari Allah … !”
Dengan menabahkan diri menanggung sakit yang diderita­nya, Sa’ad naik ke anjung rumah yang ditinggalinya dan yang diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil telungkup di atas dadanya yang dialasi bantal sementara pintu anjung itu terbuka lebar . . . . Sedikit saja serangan dari orang-orang Persi ke rumah itu, akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut ….
Bisul-bisul pecah berletusan, tetapi ia tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya:
“Majulah ke kanan . . .”., dan kepada yang lain: “Tutup pertahanan sebelah kiri   awas di depanmu hai Mughirah ke belakang mereka hai Jarir           pukul hai Nu’man …. serbu hai Asy’ats . . , hantam hai Qa’qa’ majulah semua hai shahabat-shahabat Muhammad saw …
Suaranya yang berwibawa, penuh dengan kemauan dan semangat baja, menyebabkan masing-masing prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Maka berjatuhanlah tentara Persi, tak ubah bagai lalat-lalat yang berkaparan, dan rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan pemujaan api!
Dan setelah melihat tewasnya panglima bestir dan prajurit ­prajurit pilihan mereka, sisa-sisa musuh tunggang-langgang melarikan diri. Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Mada-in. Ibu kota itu mereka masuki untuk merampas kursi singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi lambang keberhalaan.
Di pertempuran Mada-in Sa’ad mencapai prestasi tinggi . . . . Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara perang berlangsung secara keeil-keeilan antara Persi dan Kaum Muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Mada-in saja, ber­siap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir dan menentu­kan….
Sa’ad menyadari bahwa situasi medan dan musim meng­untungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap.Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.
Nah, di antaranya peristiwa inilah yang membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagai dilukiskan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, “singa yang menyembunyikan kukunya”. Keimanan sa’ad dan kepekatan hatinya akan tampak menonjol ketika menghadapi bahaya, hingga dapat mengatasi barang mustahil berkat keberanian yang luar biasa!
Demikianlah Sa’ad mengeluarkan perintah kepada pasukan­nya untuk menyeberangi sungai Tigris, dan disuruhnya me­nyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat dijadikan tempat penyeberangan ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam.
Sebelum tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada dalam ke­kuasaan dan pengawasan musuh.
Ketika itu disiapkannya dua kompi tentara: Pertama yang dinamakannya “kompi sapu jagat”, sebagai komandannya diangkatnya “Ashim bin ‘Amr. Dan yang kedua disebutnya “kompi gerak cepat”, sebagai pemimpinnya diangkatnya Qa’qa bin ‘Amr.
Adapun tugas dari kedua kompi ini ialah menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman menuju pinggir sebelah musuh dan melindungi induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang mena’jubkan .. .
Hingga siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai hasil yang mengagumkan bagi para  ahli sejarah, bahkan bagi diri Sa’ad bin Abi Waqqash sendiri ….
Salman al-Farisi, yakni teman dan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga hampir-hampir tak percaya akan hasil yang telah dicapai. la menepukkan kedua belah tangannya karena ta’jub dan bangga, katanya:
“Agama Islam masih baru ….
Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan,
sebagai halnya daratan telah mereka kuasai ….
Demi Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan Nya, pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripada­nya berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong ­bondong … !”
Dan benarlah apa yang dikatakannya itu ….
Sebagaimana mereka telah terjun ke dalam sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula mereka keluar dari dalamnya dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang pula. Tak seorang pun dari mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun tentara Persi yang mampu mengunjukkan giginya . .!
Mangkok tempat minumannya seorang prajurit jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi satu-satunya orang yang ke­hilangan barang waktu penyeberangan itu. Kepada teman-teman­nya diserukannya agar menolongnya untuk menclapatkan barang itu kembali. Kebetulan suatu ombak besar melemparkan mang­kok itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut ….
Salah satu riwayat tentang sejarah melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, katanya:
“Sa’ad memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca: Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil — cukuplah bagi kita Allah, dan Dialah sebaik-baik pemimpin — Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh orang-orangnya, hingga tak seorang pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang.
Maka berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, akan janji dan bantuan-Nya … ! “
Tatkala Sa’ad diangkat Umar sebagai amir wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan dan perluasan kota. Kota Kufah diperbesar, dan diumumkanlah hukum Islam serta dilaksanakan di daerah yang luas dan lebar itu.
Pada suatu hari rakyat Kufah mengadukan Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul Mu’minin, rupanya mereka sedang dipengaruhi oleh tabi’at yang mudah dihasut, cepat resah, gelisah dan suka memberontak, hingga mereka mengemukakan tuduhan yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata mereka: “Sa’ad tidak baik shalatnya … ! “
Mendengar itu Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak, ujarnya:
“Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka sebagai shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua raka’at yang mula-mula dan memen­dekkan dua raka’at yang akhir”.
Sa’ad dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera dipenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembali­kannya ke Kufah, tapi sambil tertawa Sa’ad menjawab:
‘Apakah anda hendak mengembalikan saya kepada kaum yang menuduh bahwa shalat saya tidak baik … ?
Demikianlah ia memilih tinggal di Madinah.
Ketika Amirul Mu’minin dicederai orang, dipilihnyalah enam orang di antara shahabat-shahabat Rasulullah saw. yang akan mengurus soal pemilihan khalifah baru, dengan mengemuka­kan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridlai Rasulullah saw. sewaktu beliau hendak berpulang ke rahmatullah. Maka di antara shahabat yang berenam itu terdapatlah Sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad ….
sewaktu memberi wasiat dan mengucapkan selamat per­pisahan dengan shahabat-shahabatnya, Umar berkata: “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya . . .! Dan seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai pendampingnya … !”
Sa’ad mencapai usia lanjut . . . dan tibalah saat terjadinya fitnah besar, dan Sa’ad tak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putera-puteranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya.
Pada suatu ketika perhatian orang sama-sama tertuju ke­padanya, dan anak saudaranya yang bernama Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash datang mendapatkannya, seraya berkata: “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang meng­anggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini!”
Ujar Sa’ad:
“Dari seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja . I . , jika saya tebaskan kepada orang Mu’min maka takkan mempan sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus batang lehernya … !”
Mendengar jawaban itu anak saudaranya maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tak hendak bercampur tangan.
Dan tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke tangan Mu’awiyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, ditanyakan kepada Sa’ad:
“Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?”
Ujarnya: “Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka kataku: Hai saudara …. hai saudaraku! Lalu saya hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali …”
Kata Mu’awiyah: “Bukankah dalam al-Quran tak ada: Hai saudara, hai saudara! Hanya firman Allah Ta’ala:
Jika di antara orang-orang Mu’min ada dua golongan yang berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. . .!
(Q.S.49 al-Hujurat:9)
Maka anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya … !”
Sa’ad menjawab sebagai berikut:
“Saya tak hendak memerangi seorang laki-laki — maksudnya Ali — yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda:
Engkau di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa, tetapi (engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi sesudahku!”
Suatu hari pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun . . . , ia sedang berada di rumahnya di ‘Aqiq, sedang bersiap-siap hendak menemui Allah Ta’ala ….
Saatnya yang akhir itu diceritakan puteranya kepada kita sebagai berikut:
“Kepala bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka katanya: Kenapa kamu menangis wahai anakku . . . ? Sungguh Allah tiada akan menghukumku . . . , dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga … !”
Kekebalan imannya tak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan kengeriannya! Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar gembira kepadanya sedang ia iman dan percaya penuh akan kebenaran Rasulullah saw. itu! Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi … ?
“Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku              dan Sungguh aku termasuk penduduk surga …
Hanya ia hendak menemui Allah dengan membawa kenang-­kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya …. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya, yang ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk. Disuruh­lah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain itu, katanya:
“Telah kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini … ! “
Memang, kain usang yang telah lapuk itu tak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan Lulus dan bariman serta gagah berani … !
Dan sosok tubuh dari salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orang­orang yang membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci dari pars shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasad­jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempat­nya di bumi dan tanah Baqi’.
Selamat jalan wahai Sa’ad …
Selamat jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain dan pemadam api pujaan di Persi untuk selama-lamanya … !

0 komentar:

Lokasi