Pada zaman dahulu, di Pulau Bali memerintahlah seorang raja yang adil dan bijaksana. Karena bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani dan disayangi rakyatnya. Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai pelosok. Hingga setelah menginjak dewasa, banyak pemuda daerah lain hendak melamarnya untuk dijadikan istri.
Suatu hari di antara para pemuda yang datang melamar itu terdapatlah seorang putra mahkota. Namun apa hendak dikata, lamaran itu ditolak putri sang Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah yang terjadi hingga lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak sang putri.
“Mengapa putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.
Karena penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan menanyakan langsung kepadanya.
Pada satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya. “Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran yang datang?” tanya sang permaisuri.
Ditanya demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati, sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. “Bukanlah ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.
Ditanya demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya. Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita penyakit kelamin.
Mendengar jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana.
“Hai hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan dengan putriku,” perintah baginda.
Disebarkanlah pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah utara Pulau Bali.
Setelah segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan, sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat tersebut.
Sebetulnya di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup.
Suatu hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang, anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri. Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi. Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.
Sudah menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung.
Ketika rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak, sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan si Tumang.
Begitu kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi putrinya itu.
Setelah beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik baginda.
Dengan kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara.
ADALAH Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing ikan menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing nampak sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.
Dalam keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar pulau hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut, Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali sauh pada potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri, red.). Setelah mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’ Malim Angin segera menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan jangkarnya ke laut. Seketika pulau hanyut itu pun berhenti. Namun, karena baru terikat pada satu tiang, pulau itu terus berputar.
Melihat pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun berlari ke arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung Datu’ Malim Angin berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon waru, red.), lalu menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi berhenti. Setelah itu barulah pulau hanyut tersebut berhenti berputar.
Secara turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara lisan di masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitong.
Konon, gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya dikenal dengan Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong. Gunung ini, oleh mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang Selatan Pulau Belitung. Dan, juga menurut mereka yang percaya, sampai sekarang Datu’ Malim Angin masih ‘mendiami’ / menguasai gunung tersebut. Sedang gunung kedua, adalah Gunung Burung Mandi.
Sumber Cerita : Buku Cerita Kampung Rakyat Belitung oleh Bule Sahib
0 komentar:
Posting Komentar