Di kisahkan,pada zaman dahulu,di kelekak Gelaggang (sekarang desa Mentigi) tinggal seorang gadis.Dizamannya ia bisa dikatakan yang tercantik.Kecantikkan si gadis itu telah membuat para pemuda baik dari kelekak gelaggang, maupun kelekak sekitar,ingin mempersuntingnya.
Namun,lantaran banyaknya lamaran datang,orang tua si gadis sulit untuk memutuskan siapa pemuda yang patut ia terima sebagai menantunya.Apalagi orang tua juga tahu bahwa,sebagian besar pelamar itu berilmu tinggi.Misalnyalnya,hanya dengan menunjuk saja ,burung yang berterbangan akan jatuh .atau pohon yang ditampar bisa langsung meranggas dan sebagainya.karena itulah,selain sulit menerima,orang tua sigadis juga kesulitan untuk menolak.
Dalam kebinggungn itulah akhirnya orang tua si gadis itu pun menemukan jawaban.Ia tidak akan menolak atau menerima satupun dari lamaran tersebut.Ia akan baru menerima lamaran tersebut dengan satu syarat .Yaitu yang berhak mendapatkan anak nya adalah lelaki pemenang undian,dimana undian nya di tetapkan sendiri oleh peminang,tanpa campur tangan nya
Diberi syarat demikian,para peminang setuju.Mereka sepakat untuk melakukan permainan pukul-pukulan dengan rotan,mengadu ilmu masing-masing.Siapa yang kena di bagian punggung di nyatakan kalah.Tapi,jika kedua-duanya sama terkena pukulan,yang keluar sebagai pemenang adalah adalah yang menerima pukulan paling sedikit.Mereka juga sepakat menentukan hari permainan.
Hari yang disepakati itupun tiba .Hari itu para peminang berkumpul di satu gelanggang yang telah disediakan .siap memainkan adu pukul –pukulan dengan rotan.Sementara itu,baik penduduk kelekak gelaggang maupun dari kelekak sekitar,berduyun-duyun datang ke geleggang untuk menyaksikan adu sakti tersebut.Sebagai pengiring dipukul gong,kelinang,tawak-tawak,gendang dan ditiuplah serunai.
Seiring bunyi-bunyian tersebut ,jago-jago tadi pun mulai ngigal (menari berputar-putar,red.)sambil berseru :”ini die no”ritembab,cube pute (nah, ini die dari kelekak ketembab,coba lawan).seruan itu sambil ngigal ,disambut jago lain,dengan beseru :”ini no”ri balai ulu,nda”nulak pasang”.Sementara yang lain berseru pula,”ni buntake no”ri Nandong ,dirit bangkai_e”.(ini dari kelekak nandong ,diseret bangkainya,tidak akan mundur).Dan lain-lain seruan yang menandakan keberanian mengahadapi siapa saja.Pendek kata,di seling alat musik,terjadi perang seruan antara para jago tadi.
Sementara itu jago-jago lain memperhatikan untuk mencari pasangan beripatnya dan bila ada yang telah menyetuujui,masuklah ia ke gelanggang tepat ngigal tadi.,sambil menepuk punggung bahu pengigal tadi berteriak “ kiape re “ ( gimana sudara ) seruan itu akan di jawab pengigal musuh dengan jawaban “ Tulai “ ( Jadi.)
Menurut cerita dalam pertandingan tersebut,karena sebagian peserta adalah orang-orang berilmu tinggi dan sama-sama tidak terkalahkan,tidak seorang pun yang kalah maupun menang.
Demikian dongeng ringkas tentang beregong/beripat.Atraksi budaya beregong /beripat,saat ini sudah jarang dimainkan.Biasanya dimaikan pada acara tertentu saja,seperti acara Maras Taun.
Namun untuk menggelarnya tidak mudah,karena harus dimainkan dengan pendukung lengkap.Di mulai dari selamatan,pembangunan rumah tinggi ( balai peregongan ) setinggi 6 s/d 7 meter yang di beri tangga buat para penabuh naik untuk memainkan alat musik pukul,seperti : dua buuang gong besar,satu buah tawak-tawak,delapan buah kelinang,dua buah gendang panang serta sebuah serunai.Untuk menaikan alat-alat musik ini ke balai peregongan harus di pimpin seorang dukun atau ahli waris pemilik gong.
Permainan beregong/beripat ini di pimpin seorang dukun kampung di bantuu seorang juru pisah dan pencatat.Permainan itu di selenggarakan pada malam hari.Setelah gong di bunyikan ramailah pemain menari-nari ( ngigal ) sambil berseru-seru seperti seruan peminang putrid cantik yang menjadii pemicu adanya permainan ini di zaman dahulu.Jika seorang telah mendapat lawan,mereka berdua pergi ke tempat dukun,lalu petugas menanyakan apakah sudah kenal sebelumnya dan lain-lain.Ada juga isyarat bahwa jago yang bertanding tidak boleh datang dari kampung yang sejalan.
Setelah dukun tidak keberatan,keduanya membuka baju mereka dan harus terlepas dari pinggang ke atas.Untuk melindungi kepala dan telinga,bagian kepala di tutup dengan sehelai kain.Sementara tangan kiri dii kebat ( bungkus.red ) guna menangkis pukulan lawan,juga menggunakan kain sampai sebatas lutut.
Sebelum di mulaii dukun pun akan memberi tahu peraturan yang harus di taati,semisal : tidak boleh menyerang dengan mengecoh ( menyerunduk ),harus saling serang dan tidak menyerang bagian kepala ataupun bagian pinggang ke bawah.Pukulan yang di anggap sah adalah yang kena bagian belakang.
Sebelum pertandingan di mulai kedua rotan pemain di periksa dan di ukur sama panjang,kemudian di gosok dengan air jampi-jampi ( mantra ) yang sudah di sediakan sebelumnya.Konon kabarnya,air jampi ini berkhasiat untuk menahan sakit meskipun kena pukulan berbekas besar (bintor,istilah setempat.red ) tapi baru terasa sakitnya setelah sampai di rumah.
Setelah rotan di beri air jampi,semuanya bersiap-siap.Kedua pemain pun masuk ke gelanggang di iringi tampik sorak penonton.
Sumber Cerita : Buku Cerita Kampung Rakyat Belitung oleh Bule Sahib
0 komentar:
Posting Komentar