Cerita Asal Mula Nama Kampung Belantu / Keramat Pinang Gading


Rabu, 21 September 2011

Tak  jauh dari Gunung Beluru, Kecamatan Membalong, ada sebuah keleka’ dikenal dengan Keleka’ Nanga’. Disinilah terletak kuburan yang dikenal dengan Keramat Pinang Gading, tokoh utama cerita ini. Di antara rumah-rumah yang ada di Keleka’ Nanga’ ini, terdapatlah sebuah belandongan (rumah beratapkan daun nanga’ yang disirat, berlantaikan kayu berlapiskan tuntong –kulit kayu terunjam, red.) Di rumah itu tinggal Pak Inda bersama istrinya Bu’ Tumina. Sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai ini belum dikaruniai seorang anak. Kendati demikian ketiadaan anak itu tak mengurangi rasa sayang antara keduanya. Kemana pun mereka pergi selalu berdua. Penderitaan salah satu adalah penderitaan keduanya. Begitu pula kesenangan. Ibarat burung tiong, kemana jantan terbang disitulah betina ikut terbang. Sehari-hari hidup mereka bersumber dari usaha bertanam padi (ume). Tiap tahun pada bulan nyiur, mereka menugal (menanam padi ladang red.), jagung dan palawija lainnya. Pak Inda termasuk rajin berusaha di laut, untuk menangkap ikan dengan membuat dan memasang sero. Suatu pagi, saat sedang musim mengetam (menuai) padi, Pak Inda berpamitan pada istrinya, untuk menidau (menengok sero, red.) kalau-kalau mengena ikan banyak.


Ia berpesan kepada istrinya, “Biar aku saja yang pergi, kau tinggal di rumah menjemur padi.” Ketika Pak Inda tiba di tepi laut, air laut yang sedang berangsur surut. Saat berjalan menuju seronya, kaki Pak Inda tersandung sepotong bambu yang hanyut bersama sampah laut. Bambu itu ia ambil lalu dilemparkannya ke tengah laut agar hanyut ke tempat lain. Ketika ia tiba dekat seronya, ia kembali tersandung sepotong bambu. Lalu ia pun mengambil bambu tersebut. Setelah diamati, ternyata itu bambu yang tadi juga. Karena merasa tak butuh bambu Pak Inda pun mencampakkan bambu itu ke belakang sero, agar ikut terbawa arus hanyut ke tempat lain. Selesai dengan urusan bambu tadi, Pak Inda langsung sibuk dengan kegiatannya, menangguk ikan di dalam sero. Rupanya hari itu seronya banyak mengena. Setelah dimasukkan ambong, ikan-ikan tadi dicucuki-nya dengan rotan.

Sambil menggandar ikan-ikan hasil seronya, sebagian diambin (dipanggul), sebagian ditentengnya, ia mengarungi air laut yang telah surut dan berjalan menuju pantai. Di tengah perjalanannya menuju pantai, ketiga kali kakinya terkait sebatang bambu, yang setelah diamati ternyata bambu yang sudah dua kali dibuangnya tadi. Karena sudah tiga kali tersandung bambu yang sama, terlintas dalam fikirannya … aneh sekali kejadian ini. Air laut telah surut, lazimnya benda itu hanyut terbawa arus. Tetapi kenyataannya, bambu itu hanyut melawan arus. Ia pun berfikir, pasti bambu ini bukan sembarang bambu, ada ada sesuatu yang terkait dengan bambu tersebut. Akhirnya, bambu itu pun ia ambil dan digunakannya untuk memikul ikan-ikan perolehannya. Ketika makan siang, perihal bambu aneh yang kemudian ia jadikan pikulan ikan tadi pagi diceritakan Pak Inda pada istrinya. Oleh istrinya bambu itu diletakkannya di halaman depan rumahnya kalau-kalau diperlukan untuk menindih tikar jemuran padinya agar tidak tergulung oleh tiupan angin.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, tak ada peristiwa apa-apa dengan bambu tersebut. Namun, pada suatu hari Jumat, kira-kira matahari mulai tergelincir pertanda waktu sholat Dzuhur tiba, ketika pak Inda sedang tidur-tiduran berbantal sebang, secara tiba-tiba terdengar suara letusan sangat keras diikuti suara tangisan bayi. Suara itu datang dari tempat ia menjemur padi. Setelah dilihat ternyata, suara ledakan keras tadi berasal dari bambu yang dibawanya dari laut. Anehnya, dari pecahan bambu itu keluar seorang bayi. Dari muka sang jabang bayi terpancar cahaya yang menyilaukan mata. Melihat bayi tersebut, Bu Tumina, istri Pak Inda, segera menggendongnya. Setelah itu ia segera memandikan, menyelimuti dengan kain bersih dan meninabobokkannya. Ringkas cerita bayi itu dipelihara dan menjadi anak pasangan bahagia yang sudah lama mengidamkan anak ini. Bayi itu sendiri kemudian diberi nama Puteri Pinang Gading. Setelah usianya beranjak besar, kelihatanlah bahwa Pinang Gading memiliki keistimewaan khusus, yaitu kesenangannya akan panah sehingga tak henti-hentinya ia selalu minta dibuatkan anak panah dari bambu. Akhirnya ia pun menjadi seorang anak yang mahir sekali menggunakan panahnya.Setelah berusia sekitar 15 tahun ia malah menjadi seorang pemanah yang tiada tandingan. Bidikannya tak pernah meleset dan setiap ia pergi berburu selalu membawa hasil memuaskan sekali bagi Pak Inda dan Bu’ Tumina.

Perangainya sehari-hari pun sangat menyenangkan, baik terhadap kedua orang tuanya maupun kerabat dan tetangganya di Keleka Nanga’. Malah sejak Pinang Gading ada, kehidupan suami istri tersebut sama sekali berubah. Hasil tangkapan ikan dari sero-nya selalu melimpah ruah, setiap bertanam padi hasilnya selalu memuaskan. Pendeknya sejak pasangan ini memelihara Pinang Gading kehidupan mereka berubah makmur, hingga bertambah sayanglah keduanya kepada Pidang Gading. KONON, tak jauh dari Keleka’ Nanga’ terdapat Keleka’ Remban. Keleka’ ini setiap tahun selalu ditimpa musibah yang ditimbulkan makluk menyerupai seekor burung raksasa. Burung raksasa yang kabarnya hidup di Pegunungan Bita, di sebelah Timur Danau Ranau, itu selalu memangsa penduduk Keleka’ Remban setiap habis panen. Hingga dari tahun ke tahun penduduk keleka’ itu menyusut. Baik akibat dimangsa burung raksana itu maupun karena banyak yang pindah dari keleka’ tersebut. Umumnya, selain pindah ke keleka’ sebelahnya, untuk menghindarkan burung raksasa tadi, sebagian penduduk memilih tinggal di gua-gua di celah-celah gunung di daerah itu. Sementara bagi penduduk yang masih memilih tinggal sebagian besar menggunakan remban, yaitu kayu-kayuan yang disusun dan dijalin dengan rotan sega’ atau berebat. Mereka menamakan burung yang sering menyerang itu Burung Gerude, yang konon kabarnya berkepala tujuh.

Akan halnya musibah yang menimpa penduduk Keleka’ Remban itu tersiar ke keleka’ tetangga dan membuat mereka prihatin dan was-was, jangan-jangan suatu hari nanti mereka yang akan dapat giliran diserang. Ketika musibah itu terjadi usia Pinang Gading sudah menginjak 21 tahun dan kemahiran memanahnya semakin hebat. Ia pun sudah mendengar akan keganasan burung raksasa tersebut. Karena tak tahan diteror, seluruh tetua keleka’ bermusyawarah untuk membinasakan burung tersebut dengan jalan memanahnya. Satu-satunya pemanah yang paling mahir saat itu siapa lagi kalau bukan Pinang Gading. Sebagai anak yang berperangai baik Pinang Gading tentu saja tersentuh hatinya dan tergugah serta bersedia menjalankan tugas sebagai pemanah Burung Gerude tersebut. Untuk menunaikan tugasnya, Pinang Gading pun segera membuat anak panah khusus untuk mematikan burung raksasa tersebut. Ia pun merendam anak panahnya dengan berbagai jenis racun. Setelah persiapan usai dilakukan, pada suatu hari burung yang ditakuti itu datang ke Keleka’ Remban untuk mengganggu penduduk. Melihat kedatangan burung pembinasa tersebut, Pinaang Gading yang sebelumnya telah diungsikan di stu tempat strategis, mulai mempersiapkan busur panahnya dengan anak panah beracun siap ditembakkan. Akhirnya, ketika si burung raksasa itu mematuk orang tua yang memang sengaja diumpankan, saat itu juga Pinang Gading melepaskan tali busur panahnya.

Seketika anak panah beracun meluncur deras menuju sasarannya, tepat di leher si burung buas itu. Karena anak panah yang digunakan Pinang Gading telah direndam anake macam racun, tak ayal burung itu pun langsung mati. Burung itu jatuh bergemuruh di atas tanah, menggelepar sesaat dan sekejap kemudian mati. Dari masing-masing dari tujuh kepala burung itu kemudian keluar air tujuh warna. Lalu akan halnya anak panah Pinang Gading, saking deras dan kuatnya ia menarik busur, setelah menembus leher burung raksasa terus melesat ke atas dan jatuh kembali menancap di tanah. Menurut cerita yang berkembang turun temurun, anak panah yang menancap di tanah tadi tumbuh subur menjadi sebatang pohon bambu. Namun, setiap ada penduduk yang menebang pohon bambu itu akan menemui ajalnya, sehingga lama-kelamaan tak ada lagi penduduk yang berani menebangnya. Rupa-rupanya racun yang digunakan Pinang Gading begitu kuatnya, hingga terus melekat pada anak panahnya. Bahkan hingga anak panahnya tumbuh kembali menjadi pohon bambu yang subur. Karena itulah kemudian penduduk setempat menyebut pohon bambu itu sebagai buluh hantu. (Buluh adalah bahasa lokal untuk bambu, red.) Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi BELANTU, hingga kemudian daerah tersebut juga dinamai daerah Belantu. Akan halnya Pinang Gading, setelah berhasil memusnahkan burung raksasa tersebut, namanya kian termashur di seluruh keleka’ di daearah Belantu. Namun, sebagai manusia biasa, setelah usianya tua, meninggal di tempatnya ‘lahir’ di Keleka’ Nanga’. Makamnya yang kini terdapat di kampung kecil di kaki Gunung Beluru, Membalong, itu hingga kini dikeramatkan penduduk setempat.

Sumber Cerita : Buku Cerita Kampung Rakyat Belitung oleh Bule Sahib

0 komentar:

Lokasi