ABU SUFYAN BIN HARITS


Kamis, 01 Desember 2011

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG

Ia adalah Abu Sufyan bin Harits, dan bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu’awiyah. Kiaahnya merupakan kiaah kebenaran setelah kesesatan, sayang setelah benci dan bahagia setelah celaka …. Yaitu kiaah tentang rahmat Allah yang pintu-pintu­nya terbuka lebar, demi seorang hamba menjatuhkan diri di haribaan-Nya, setelah penderitaan yang berlarut-larut … !
Bayangkan, waktu tidak kurang dari 20 tahun yang dilalui Ibnul Harits dalam kesesatan memusuhi dan memerangi Islam ! Waktu 20 tahun, yakni semenjak dibangkitkan-Nya Nabi saw. sampai dekat hari pembebasan Mekah yang terkenal itu. Selama itu Abu Sufyan menjadi tulang punggung Quraisy dan sekutu-sekutunya, menggubah syair-syair untuk menjelekkan serta menjatuhkan Nabi, juga selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkan terhadap Islam.
Saudaranya ada tiga orang, yaitu Naufal, Rabi’ah dan Ab­dullah, semuanya telah lebih dulu masuk Islam. Dan Abu Sufyan ini adalah saudara sepupu Nabi, yaitu putera dari parnannya,. Harits bin Abdul Mutthalib. Di samping itu ia juga saudara sesusu dari Nabi karena selama beberapa hari disusukan oleh ibu susu Nabi, Halimatus Sa’diyah.
Pada suatu hari nasib mujurnya membawanya kepada per­untungan membahagiakan. Dipanggilnya puteranya Ja’far dan dikatakannya kepada keluarganya bahwa mereka akan bepergian. Dan waktu ditanyakan ke mana tujuannya, jawabnya, ialah:
“Kepada Rasulullah, untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Robbul’alamin … !”
Demikianlah ia melakukan perjalanan dengan mengendarai kuda, dibawa oleh hati yang insaf dan sadar ….
Di Abwa’ kelihatan olehnya barisan depan dari suatu pasukan besar. Maklumlah ia bahwa itu adalah tentara Islam yang menuju Mekah dengan maksud hendak membebaskannya. la bingung memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Disebabkan sekian lamanya ia menghunus pedang memerangi Islam dan mengguna­kan lisannya untuk menjatuhkannya, mungkin Rasulullah telah menghalalkan darahnya, hingga ia bila tertangkap oleh salah seorang Muslimin, ia langsung akan menerima hukuman qiahas. Maka ia harus mencari akal bagaimana caranya lebih dulu menemui Nabi sebelum iatuh ke tangan orang lain.
Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puteranya Ja’far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga akhirnya tampaklah olehnya Rasulullah bersama serombongan shahabat, maka ia menyingkir sampai rombongan itu berhenti. Tiba-tiba sambil membuka tutup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Beliau memalingkan muka dari padanya, maka Abu Sufyan mendatanginya dari arah lain, tetapi Rasulullah masih menghindarkan diri daripadanya.
Dengan serempak Abu Sufyan bersama puteranya berseru: “Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asyhadu anna Mu.hammadar Rasulullah . . . . “. Lalu ia menghampiri Nabi saw. seraya kata­nya: “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Rasulullah”. Rasulullah pun menjawab:
“Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!” Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya:  ”Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudlu dan sunnah, kemudian bawa lagi ke sini”.
Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah: “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridla kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridla pula. . .
Demikianlah hanya sekejap saat . . . ! Rasulullah bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah … !” Maka tergulunglah sudah masa-masa yang penuh kesesatan dan kesengsaraan, dan terbukalah pintu rahmat yang tiada ter­batas
Abu Sufyan sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar, yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan ‘Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.
Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.
Tanpa menunggu lama Abu Lahab memanggilnya, katanya: —”Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana … !”
Ujar Abu Sufyan bin Harits:  ”Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka . . . ! Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy . . . ! Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengen­darai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun . . . !”
yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur di samping Kaum Muslimin
Menjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?
Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia dating nanti . . . Nah, saat petun­juk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul’alamin… !
Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketinggal­annya selama ini . . – .
Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pem­pembebasan Mekah ia selalu ikut bersama Rasulullah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan1 mereka porak poranda.
Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya berseru: “Hai manusia . . . ! Saya ini Nabi dan tidak dusta . . Saya adalah putra Abdul Mutthalib … !”
Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada bebe­rapa gelintir shahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.
Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, . yaitu berjuang fi sabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.
Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah mem­beri mereka kemenangan mutlak.
Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling . . . . Kiranya didapatinya seorang Mu’min sedang memegang erat-erat tali kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya.
Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya: “Siapa ini . . . ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits. . . !” Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku”, hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya ….
Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menvatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:
‘Warga Ka’ab dan ‘Amir sama mengetahui
Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
Menerjuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan keridlaan Ilahi
Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali”.
Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah saw. ruhnya mendambakan kepadaan agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi ke­padaan tetap menjadi tumpuan hidupnya … !
Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya: “Aku sedang menyiapkan kuburku …. “.
Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring di rumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya:  ”Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikit pun daku berlumur dosa … ! “
Dan sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkat­kannya sedikit ke atas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini ….

0 komentar:

Lokasi