SA’AD BIN UBADAH


Kamis, 01 Desember 2011


PEMBAWA BENDERA ANSHAR 

Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah diaebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Kedua mereka adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan bai’at ‘Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mu’min sejati.
Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dislami hanya Kaum Muslimin penduduk Mekah! Adalah suatu hal yang wajar andainya Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Mekah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki ke­banyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keiatimewaan itu telah ditaqdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.
Ceritanya demikian, setelah selesainya perjanjian ‘Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia dari orang-orang Anshar ini Serta persetujuan mereka dengan Rasulullah saw. di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan­kekuatan musyrik dan kesesatan.
Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy ini, dan segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Mekah, disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan padanya sesuka hati mereka …
Apa … ? Sa’ad bin Ubadah mendapat perlakuan seperti ini ? Ia yang menjadi pemimpin Madinah, yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah .. . ? Tentulah orang-orang yang telah mengikatnya dan orang-orang yang memukulnya itu tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!
Tetapi, bagaimana menurut pendapat anda mereka akan me­lepaskan Sa’ad seandainya mereka mengenalnya? Bukankah mereka juga menyiksa para pemimpin Mekah yang beragama Islam … ? Ketika itu orang-orang Quraisy benar-benar dalam kebingung­an. Mereka melihat nilai-nilai jahiliyah mereka menghadapi kehancuran di depan tembilang-tembilang kebenaran, sehingga tiada melihat jalan keluar kecuali dengan melampiaskan dendam dan nafsu amarah mereka.
Sebagai telah kita ceritakan tadi, orang-orang musyrik mengerumuni Sa’ad bin Ubadah dan menyiksa Serta memukulinya.Sekarang marilah dengarkan Sa’ad mengisahkan riwayatnya: “Demi Allah, aku berada dalam cengkraman mereka, ketika tiba-tiba muncul serombongan Quraisy, di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang putih bersih dan tinggi. Kataku dalam diriku: “Andainya di antara orang-orang ini ada yang
baik, maka inilah orangnya!” Setelah ia dekat, diangkat tangannya lalu ditinjunya daku sekuat-kuatnya. Maka kataku pula: “Tidak, demi Allah! Rupanya tak ada lagi yang baik dikalangan mereka . . . !” Sungguh, ketika aku sedang mereka Seret, tiba-tiba mendekatlah kepadaku salah seorang di antara mereka, katanya: “Hai keparat, apakah tak ada di antaramu dengan salah seorang Quraisy ikatan perlindungan?” “Ada”, kataku, “aku biasa melindungi anak buah saudagar Jubeir bin Muth’im, dan menjaga mereka dari orang-orang yang bermaksud menganiaya mereka di negeriku. Jugs aku menjadi pelindung dari Harits bin Harb bin Umaiyah”. Kata orang itu pula: “Sebut­lah nama kedua laki-laki itu dan terangkan ikatan perlindungan di antara kamu dengan mereka!” Anjurannya itu kuturuti; sementara ia pergi mendapatkan kedua orang sekutuku tadi dan menyampaikan pada mereka bahwa seorang laki-laki dari suku Khazraj sedang disiksa di padang pasir, sedang ia menyebut nama mereka dan menyatakan bahwa antaranya dengan mereka itu ada perjanjian perlindungan. Ketika mereka menanyakan namaku dijawabnya: “Sa’ad bin Ubadah”. “Demi Allah, benar ia!” ujar mereka, lalu mereka pun datang dan membebaskanku dari tangan mereka . .  ”.
Sa’ad segera meninggalkan Mekah setelah menerima penganiayaan yang ditemuinya, hingga diketahui­nya pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang me­nyeru kepada kebaikan, kepada haq dan keselamatan ….
Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangat­nya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw., para shahabat dan Agama Islam secara mati-matian.
Rasulullah saw. melakukan hijrahnya ke Madinah, dan sebelumnya itu para shahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabi’at pembawaan, maupun dari turunan. Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawan­annya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga.
Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah
berkata: “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw. dan bagi seluruh isi rumahnya . . . !”
Kata mereka pula: “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang – - – !” Oleh sebab itu Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar di­tambahi rizqi dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata: “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku . . . !” Wajarlah apabila Rasulullah saw. men­dua’akannya: “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia Serta rahmat-Mu … !”
Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah saw. pengurbanannya amat penting dan menentukan. Berkata Ibnu Abbas r.a.: — “Di setiap peperangannya, Rasulullah saw, mem­punyai dua bendera: Benders Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah”.
Tampaknya kekerasan menjadi tabi’at pribadi orang kuat ini . . . ! Ia seorang yang  keras dalam melaksanakan haq dan keras mempertahankan apa yang dipandangnya benar dan menjadi haqnya.
Bila ia telah meyakini sesuatu hal, maka ia akan bangkit menyatakannya secara terns terang tanpa tedeng aling-aling dan akan melaksanakannya dengan tekad bulat tiada kenal kompromi.
Maka tatkala pembebasan kota Mekah, Rasulullah meng­angkatnya sebagai komandan suatu peleton dari tentara Islam. Dan demi ia sampai dekat pintu gerbang Tanah Suci ia telah berseru:
“Hari ini hari berkecamuknya perang!
Hari ini dihalalkan perbuatan yang terlarang …
Seruannya itu kedengaran oleh Umar bin Khatthab, maka ia segera menghadap Rasulullah saw. lalu katanya: “Wahai Rasulullah, dengarlah apa yang dikatakan Sa’ad bin Ubadah itu! Kita khawatir kalau-kalau ia akan menggempur habis Quraisy … ! “
Nabi saw. pun memerintahkan Ali untuk menemuinya, meminta bendera dan mengambil alih pimpinan dari tangan­nya….
Ketika dilihatnya kota Mekah telah tunduk dan menyerah kepada tentara Islam yang berjaya itu, teringatlah Sa’ad akan aneka ragam siksaan yang ditimpakan mereka kepada Kaum Muslimin, bahkan juga kepada dirinya sendiri dulu. Dan ter­kenanglah peperangan demi peperangan yang dilancarkan mereka terhadap orang-orang yang cinta damai, padahal tak ada dosa mereka, hanyalah karena mereka berani mengatakan: “Lailaha illallah, tiada Tuhan melainkan Allah”. Maka kekerasan hati dan ketegasannya mendorongnya untuk menindak orang-orang Quraisy dan membalas kejahatan mereka dengan tindakan yang setimpal ….
Sikapnya yang militan ini pulalah yang menjabarkan pen­dirian Sa’ad bin Ubadah yang terkenal dengan peristiwa hari saqifah itu ….
Tidak lama setelah wafatnya Rasulullah saw. segolongan Anshar berkumpul di saqifah (pendopo) Bani Sa’idah menyeru­kan agar khalifah Rasulullah itu diangkat dari golongan Anshar. Karena mengambil alih tanggung jawab khilafah Rasulullah pada saat itu merupakan kewajiban orang Anshar sebagai penduduk asli Madinah yang telah menyatakan bai’atnya di bukit ‘Aqabah pada saat orang-orang Mekah tidak berdaya menghadapi pe­nindasan dan gempuran orang-orang kafir Quraisy. Wajar pulalah apabila orang-orang yang telah menyediakan tempat, perbekalan dan jiwa raganya, demi kelangsungan hidup Agama Allah tampil mengambil alih tanggung jawab ini.
Sikap ini dipelopori oleh Sa’ad bin Ubadah, seorang yang cukup dikenal kejujuran, keterbukaan dan keterusterangan sikapnya. 4
Tetapi Umar bin Khatthab mempunyai pendirian yang lain, ia meninjau dari segi kepemimpinan pada umumnya dan memperhatikan sikap Rasulullah pada masa hidupnya terhadap Abu Bakar.
Menurut Umar, Abu Bakar Shiddiq mendapat kepercayaan Rasul mewakili beliau menjadi imam shalat pada saat Rasul sakit, dan banyak lagi sikap dan sifat kepemimpinan Abu Bakar yang sangat menonjol di masa hayat Rasulullah dikemukakan Umar dengan tidak mengecilkan, bahkan mengagumi pengurban­an, kepahlawanan dan kepemimpinan orang-orang Anshar, Umar pun mengutip ayat al-Quran:
orang kedua selagi mereka berada dalam gua … (Q-S. 9 at-Taubat:40)
Dapat dipahami seperti ayat tersebut oleh seluruh shahabat bahwa orang kedua itu ialah Abu Bakar.
Dalam situasi seperti ini adanya perbedaan pendapat dan timbulnya pro dan kontra adalah wajar. Dan dengan rahmat dan inayah Allah peristiwa ini dapat diselesaikan dan diatasi dengan terpilihnya Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah mereka ….
Sikap Sa’ad bin Ubadah yang terbuka dan terus terang dan sangat gigih dalam mengemukakan pendiriannya itu, sangat dihargai oleh Rasulullah.
Mari kita ungkapkan apa yang terjadi setelah selesainya perang Hunain.
Tatkala perang itu berakhir dengan kemenangan di pihak Muslimin, Rasulullah saw. pun membagi-bagikan harta rampasan kepada mereka. Ketika itu beliau memberikan perhatian khusus kepada para muallaf, yakni bangsawan-bangsawan Quraisy yang baru saja masuk Islam waktu fathu Mekah. Dengan pem­berian itu Rasulullah bermaksud melembutkan hati orang-orang itu dalam mengatasi kemelut jiwa mereka, sebagaimana beliau memberikan kepada pejuang yang sangat memerlukan guna menolong mengatasi kebutuhan materi mereka.
Adapun orang-orang yang telah kokoh keislamannya, Nabi menyerahkan mengatasi persoalan hidup itu kepada keislaman mereka, dan tidak memberikan sesuatu pun dari harta rampasan perang ini. Perlu pula diketahui bahwa pemberian Rasulullah saw.  semata pemberiannya saja  sudah merupakan suatu kehormatan yang amat diharapkan oleh seluruh Kaum Muslimin. Di samping itu rampasan perang telah merupakan sumber penting dari biaya yang menunjang kehidupan Muslimin.
Demikianlah dengan perasaan heran orang-orang Anshar bertanya-tanya sesama mereka: “Kenapa Rasulullah tidak me­nyerahkan upeti dan harta rampasan yang menjadi bagian mereka … ?”
Dan berkatalah penyair Anshar Hasan bin Tsabit:
“Datanglah pada Rasulullah, tanyakan padanya
Wahai orang-orang yang terpercaya di kalangan orang-orang beriman
Bila manusia dapat penilaian, kenapa Sulaim ditinggalkan? Bukankah ia tampil ke depan, memberi tempat dan per­lindunganSampai Allah menyebut mereka Anshar atau para pembela Karena mereka membela Agama petunjuk, dan pejuang di medan laga Cepat kaki dan ringan tangan di jalan Allah Menyadari kesulitan, tiada merasa takut ataupun kecewa”.
Pada bait-bait syair tersebut penyair Rasulullah dari orang Anshar itu melukiskan kekecewaan yang dirasakan orang-orang Anshar, disebabkan Nabi saw. hanya memberikan barang-barang rampasan itu kepada sebagian shahabat sedang mereka tidak mendapat bagian apa-apa.
Pemuka Anshar Sa’ad bin Ubadah menyaksikan hal ini dan mendengar anak buahnya berbisik-bisik memperbincangkan hal tersebut. Kejadian ini tidak diaukai oleh Sa’ad, maka tampil­lah ia memenuhi suara hatinya yang polos dan terus terang dan segera menemui Rasulullah saw. lalu katanya:
“Wahai Rasulullah … ! Golongan Anshar ini merasa kecewa terhadap anda melihat tindakan anda mengenai harta ram­pasan yang kita peroleh! Anda membagi-bagikannya kepada kaum anda, dan mengeluarkan pemberian berlimpah kepada kepala-kepala suku Arab Quraisy, tetapi suku Anshar, tiada sedikit pun menerimanya … !”
Demikianlah laki-laki yang terus terang dan terbuka itu mengeluarkan isi hati dan perasaan yang terpendam di dada kaumnya dan memberikan kepada Rasulullah lukisan sebenarnya dari peristiwa tersebut.
Rasulullah saw. pun bertanya ke padanya:–
“Dan anda wahai Sa’ad, bagaimana pendapat anda mengenai hal itu … ?”
Artinya jika pendirian kaummu demikian, bagaimana pula pikiranmu terhadap hal itu?”
Dengan hati terbuka dan terus terang, segera Sa’ad men­jawab:
“Aku ini tiada lain adalah salah seorang warga kaumku … “Kalau begitu”, ujar Nabi pula, “kumpulkanlah kemari kaummu itu … ! “
Terpaksalah kita mengikuti peristiwa itu hingga akhir ke­sudahannya karena kiaahnya amat mengharukan sekali: — Sa’ad mengumpulkan kaumnya golongan Anshar. Rasulullah mendatangi mereka dan memandangi wajah-wajah mereka yang kecewa Kemudian beliau tersenyum cerah, sebagai pengaku­an atas keluhuran budi mereka dan penghargaan atas jasa-jasa mereka . .. . Kemudian sabdanya: — “Wahai golongan Anshar . . – ! Segala bisikan dan getaran hati kalian mengenai diriku telah diaampaikan kepadaku, sekarang aku bertanya kepada kalian:
Bukankah ketika aku datang, kalian sedang sesat, kemudian Allah memberi petunjuk … ?
Waktu itu kalian dalam kekurangan, kemudian Allah mem­beri kecukupan … ?
Kahan selalu bermusuhan, kemudian Allah menanamkan kasih sayang dalam hati kalian?
Jawab mereka, : Benar! Allah dan Rasul-Nya Maha pemberi lagi Maha Pemurah.
Sabda Rasul pula: Tidakkah kalian akan menyanggahku wahai golongan Anshar?
Sanggahan apa yang dapat kami sampaikan kepada tuan wahai Rasulullah? jawab mereka.
Maha pemurah lagi Maha pemberi adalah milik Allah dan Rasul-Nya.
Jawab Rasul: Apabila kalian mau, dapat menyatakan ke­padaku, dan sanggahan itu pasti benar dan tak dapat disanggah.
Andaikan kalian menyatakan kepadaku
Dahulu tuan datang kepada kami didustakan orang, tetapi kami sambut dan kami benarkan ucapan tuan.
Tuan datang kepada kami terhina kami bela dan mengangkat tuan sebagai pemimpin.
Tuan datang terhuyung-huyung kami sambut dan merawat tuan
Tuan datang terusir, kami beri tempat dan perlindungan.
Apakah hati kalian kecewa wahai golongan Anshar, melihat sampan dunia yang kuberikan kepada segolongan manusia untuk menjinakkan hati mereka dalam beragama, sedang terhadap diri kalian kuberikan keteguhan keislaman kalian … ?
Tidakkah kalian rela wahai kaurn Anshar, orang-orang itu pulang bersama kambing dan unta, sedangkan kalian pulang bersama Rasulullah ke tanah tumpah darah kalian. Demi Allah yang nyawaku berada di dalam tangan-Nya, kalau tidaklah karena hijrah, tentulah aku termasuk golongan Anshar
Andaikan orang-orang rnenempuh jalannya sendiri-sendiri pasti­lah aku akan mengikuti jalannya orang-orarig Anshar . . . ! Ya Allah, berilah rahmat kaum Anshar generasi . . . . demi generasi …
Ketika itu orang-orang Anshar sama menangis, hingga janggut mereka menjadi basah. Kata-kata yang diucapkan Rasul besar yang mulia itu memenuhi rongga dada mereka dengan keten teraman, diri mereka dengan keselamatan Serta jiwa mereka dengan kekayaan . . . . Dengan serentak semua mereka .. . . termasuk dalamnya Sa’ad bin Ubadah berseru:  ”Kami ridla kepada Rasulullah, atas pembagian maupun pemberiannya … !”
Pada hari-hari pertama dari khilafah Umar, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mu’minin dan dengan keterusterangannya yang keterlaluan seperti biasa, katanya kepadanya:  ”Demi Allah, sahahabat anda Abu Bakar lebih kami sukai daripada anda . . . ! Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda … !”
Dengan tenang Umar menjawab: “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya”. Sa’ad menjawab pula: “Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda . . . !”
Dengan kata-kata yang .diucapkannya kepada Amirul Mu’­minin Umar itu tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampias­kan amarah atau menyatakan kebencian hatinya! Karena orang yang telah menyatakan ridlanya kepada pembagian dan putusan Rasulullah saw. sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, yakni selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.
Maksud Sa’ad salah seorang shahabat yang telah dilukia­kan al-Quran mempunyai sifat berkasih sayang sesama mereka  ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mu’minin, pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan diakuinya … !
Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Syria. . . . Dan’ belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Haman, ajalnya telah datang memanggilnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih

0 komentar:

Lokasi