UMEIR BIN WAHAB


Kamis, 01 Desember 2011


JAGOAN QURAISY YANG BERBALIK MENJADI PEMBELA ISLAM YANG GIGIH

Di perang Badar ia termasuk salah seorang pemimpin Quraisy yang menghunus pedangnya untuk menumpas Islam. la seorang yang tajam penglihatan dan teliti perhitungannya. Oleh karena itulah ia diutus kaumnya untuk menyelidiki jumlah Kaum Muslimin yang ikut pergi berperang dengan Rasul, dan untuk mengamat-amati apakah di belakang itu ada balabantuan atau yang masih bersembunyi ….
Umeir bin Wahab al-Jambi pun berangkatlah, dan dengan kudanya ia dapat mengamati sekeliling perkemahan pasukan Muslimin, kemudian kembalilah ia memberi laporan kepada kaumnya, bahwa kekuatan mereka kurang lebih tigaratus orang dan perkiraannya itu ternyata benar.
Lalu mereka menanyainya, apakah di belakang itu ada bala bantuan, yang dijawabnya: “Aku tidak melihat apa-apa lagi dibelakang mereka … tetapi wahai kaum Quraisy, terbayang
di hadapanku pusara-pusara menganga yang menantikan jasad mereka . . . ! Mereka adalah kaum yang tidak mempunyai peranan dan perlindungan kecuali pedang mereka sandiri … ! Demi Allah, tidak mungkin salah seorang di antara mereka terbunuh, tanpa terbunuhnya seorang di antara kita sebagai imbalannya! Maka apabila jumlah kita yang tewas sama dengan jumlah mereka, kehidupan mane lagi yang lebih baik setelah itu…!” … ? Nah, cobalah kamu fikirkan baik-baik … j.
Kata-kata dan buah fikirannya itu berkesan dan berpengaruh kepada sebagian di antara pemimpin-pemimpin Quraisy, dan hampir saja mereka menghimpun laki-laki mereka untuk kembali pulang ke Mekah tanpa perang, seandainya Abu Jahal tidak merusakkan fikiran tersebut. Dikobarkannyalah api kebencian ke dalam jiwa mereka, tegasnya api peperangan di mana ia sendiri tewas sebagai korbannya yang pertama …
Penduduk Mekah memberinya gelar dengan “Jagoan Qu­raisy”. Di perang Badar itu, benar-benar si Jagoan ini mendapat pukulan hebat, karena usahanya menemui kegagalan total. Orang­orang Quraisy kembali ke Mekah dengan kekuatan yang telah hancur berantakan. Umeir bin Wahab telah Pula meninggalkan darah dagingnya sendiri di Madinah . karena anaknya jatuh menjadi tawanan Kaum Muslimin ….
Pada suatu hari kebetulan ia terlibat dalam percakapan dengan pamannya Shafwan bin Umaiyah …. Shafwan ini sejak lama memendam rasa dendam dan bencinya dengan getir, karena ayahnya Umaiyah bin Khalaf menemui ajalnya tewas di perang Badar, sedang tulang belulangnya telah mendekam di sumur tua.
Shafwan dan Umeir duduk berbincang-bincang sama-sama melampiaskan kebenciannya. Marilah kita panggil ‘Urwah bin Zubeir untuk memaparkan percakapan panjang mereka kepada kita:
Kata Shafwan: “Demi Allah, tak ada lagi gunanya hidup kita setelah peristiwa itu       “‘ Dan berkata Pula Umeir: “Kau benar, dan demi Allah, kalau karena utang yang belum sempat kubayar, dan keluarga yang kukhawatirkan akan tersia-sia sepeninggalku, niscaya aku berangkat mencari Muhammad saw. untuk membunuhnya . . . !” “Aku mempunyai alasan kuat untuk berbicara dengannya, akan kukatakan, bahwa aku datang untuk membicarakan anakku yang tertawan itu”. Shafwan segera menanggapi dan katanya Pula: “Biarlah aku yang me­nanggung utangmu .. . , akan kulunasi semua dan keluargamu hidup bersama keluargaku, akan kujaga mereka seperti keluargaku!”
Maka kata Umeir lagi: “Nah, kalau begitu marilah kita simpan rahasia kita ini . . . !” Kemudian Umeir meminta pedang­nya, yang sudah disuruhnya asah dan diberi racun. Maka berang­katlah ia hingga sampai di Madinah ….
Di Madinah selagi Umar bin Khatthab bercakap-cakap dengan sekelompok Muslimin tentang perang Badar dan mereka menyebut-nyebut pertolongan Allah kepada mereka, sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya Umeir bin Wahab yang baru saja menambatkan tunggangannya di muka mesjid, siap memperguna­kan pedangnya, maka kata Umar:
“Itu si Umeir bin Wahab anjing musuh Allah! Demi Allah, pastilah kedatangannya untuk maksud jahat . . . ! Dialah yang telah menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di perang Badar … !”
Lalu Umar masuk menghadap Rasulullah saw. dan lantas berkata: “Ya Nabi Allah, itu si Umeir musuh Allah, ia telah datang siap menghunus pedangnya … !
Jawab Rasulullah saw.: “Suruhlah ia masuk menghadapku …
Umar pun pergi mengambil pedangnya dan menimang­-nimangnya di tangan, sembari mengatakan kepada orang-orang Anshar yang ada di sana, agar mereka masuk semua dan duduk dekat Rasulullah sambil mengawasi tindak tanduk bajingan itu terhadap Rasul, karena ia tidak dapat dipercaya. Lalu Umar membawa masuk Umeir menghadap Nabi, sambil membawa pedangnya yang tersandang di pundaknya, dan sewaktu hal ini dilihat oleh Rasul, beliau berkata: “Biarkanlah ia wahai Umar, dan anda wahai Umeir …. dekatlah ke mari!”
Umeir pun mendekat seraya berkata: “Selamat pagi!” suatu ucapan jahiliyah, maka jawab Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu hai Umeir, yaitu salaam . . . peng­hormatan ahli surga!”
Ujar Umeir Pula: “Demi Allah, aku masih hijau tentang hal itu!”
Tanya Rasulullah Pula: “Apa maksudmu datang ke sini, hai Umeir?” Jawabnya: “Kedatanganku ke sini sehubungan dengan tawanan yang berada di tangan anda”.
Tukas Nabi Pula: “Apa maksud pedangmu yang tersandang itu?” Jawab Umeir: “Pedang-pedang keparat! Menurut anda apakah ada manfa’atnya pedang itu bagi kami?”
Berkata Pula Rasulullah: “Berkatalah terus terang hai Umeir, apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya?”
Ujar Umeir Pula: “Tak ada maksudku yang lain, hanyalah yang kusebutkan tadi”.
Kata Rasulullah saw. lagi: “Bukankah kamu telah duduk bersama Shafwan bin Umaiyah di atas batu, lalu kamu berbincang-bincang tentang orang-orang Quraisy yang tewas di sumur Badar, kemu­dian katamu: “Kalau bukan karena utang dan keluargaku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad. Lalu Shafwan menjamin akan membayar utangmu dan menanggung keluarga­mu, asal kamu membunuhku, padahal Allah telah menjadi penghalang bagi maksudmu itu . . . !”
Waktu itu berserulah Umeir: “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu annaka Rasulullah . . . . Urusan ini tak ada yang menghadirinya selain aku dengan Shafwan saja. Demi Allah, tak ada yang memberi kabar kepadamu selain Allah! Maka puji syukur kepada Allah yang telah menunjuki aku kepada Islam!” Maka berkatalah Rasulullah kepada shahabat-shahabatnya: “Ajarilah saudaramu ini soal Agama, bacakan kepadanya al­Quran dan bebaskanlah tawanan itu serta serahkanlah ke­padanya!”
Begitulah Umeir bin Wahab masuk Islam ….
Dan dernikianlah masuk Islamnya Jagoan Quraisy! Ia telah diliputi oleh nur Rasul dan nur Islam seluruhnya, hingga tiba-tiba dalam sekajap saat ia telah berbalik menjadi pembela Islam yang gigih. Berkatalah Umar bin Khatthab r.a.: “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya! Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi daripada si Umeir sewaktu mula-mula muncul di hadapan kita . . . ! Tetapi sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku sendiri …
Umeir duduk merenungkan dengan mendalam toleransi atau kelapangan dada dan sifat pema’af Agama ini serta kebesaran Rasul-Nya. Ia teringat akan masa-masa. silamnya di Mekah, sewaktu ia merencanakan tipu muslihat busuk dan memerangi Islam, yakni sebelum hijrah Rasul dan shahabat-shahabatnya ke Madinah. Kemudian ia teringat Pula usaha dan perjuangannya di pedang Badar . . . . Dan kini, ia datang dengan menimang­-nimang pedang di tangan.hendak membunuh Rasul. Dan semua itu dengan sekejap mata habis dikikis dengan ucapannya: “La ilaha illallah, Muhammadur-Rasulullah Alangkah pema’af dan sucinya, serta teguhnya kepercayaan diri, ajaran yang dibawa oleh Agama besar ini  …
!
Beginikah kiranya Islam dalam sekejap saja sedia meng­hapuskan segala kesalahannya yang lalu, sementara orang-orang Islam melupakan segala dosa dan kejahatannya serta permusuh­annya yang lampau, dan membukakan dasar hati mereka untuk­nya, bahkan sedia merangkul dan memeluknya ke haribaan mereka?
Beginikah jadinya, pedang yang tergenggam kuat untuk suatu niat yang jahat, dan kekejaman keji, yang kilatannya masih membayang di muka mereka, semuanya sudah dilupa­kan, dan sekarang tak ada yang diingat lagi, kecuali Islamnya Umeir, dan dalam waktu sekejap ia telah menjadi salah seorang dari Kaum Muslimin, shahabat Rasul, yang mempunyai hak seperti hak-hak mereka, dan memikul kewajiban dan tanggung jawab seperti mereka Pula?
Dan beginikah akhirnya, seorang yang hampir dibunuh oleh Umar bin Khatthab beberapa saat sebelumnya, sekarang jadi dicintainya melebihi cintanya kepada anak cucunya sendiri?
Kalaulah salah satu saat dari keberanian yakni saat Umeir menyatakan keislamannya, telah membawa keberuntungan bagi Umeir berupa penghargaan, kemuliaan, ganjaran dan penghormatan dari Islam, maka tak ada penilaian lain, bahwa benar­-benarlah Islam itu suatu Agama yang maka luhur … !
Tidak berapa lama antaranya Umeir sudah mengenal tugas kewajibannya terhadap Islam . . . . Bahwa ia akan berbakti kepadanya, seimbang dengan usahanya memeranginya di masa lampau. Dan bahwa ia akan mengajak orang kepada Islam setaraf dengan ajakannya memusuhinya di masa silam. Dan bahwa ia akan memperlihatkan kepada Allah dan Rasul-Nya apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu berupa kejujuran, perjuangan dan ketaatan. Dan begitulah, ia datang menghadap Rasulullah pada suatu hari, sembari berkata: “Wahai Rasulullah! Dahulu aku berusaha memadamkan cahaya Allah, sangat jahat terhadap orang yang memeluk Agama Allah ‘Azza wajalla, maka sekarang aku ingin agar anda idzinkan aku pergi ke Mekah!
Aku akan menyeru mereka kepada Allah dan kepada Rasul­Nya, serta kepada Islam, semoga mereka diberi hidayah oleh Allah! Kalau tidak, aku akan menyakiti mereka karena agama mereka, sebagaimana dulu aku menyakiti shahabat-shahabatmu karena agama yang diikuti mereka . . .
Pada hari-hari itu, semenjak Umeir meninggalkan kota Mekah menuju Madinah, maka Shafwan bin Umaiyah yang telah menghasut Umeir pergi membunuh Rasul, sering mundar-mandir di jalan-jalan kota Mekah dengan sombong, dan ia selalu menumpahkan kegembiraannya yang meluap di semua majlis dan tempat-tempat pertemuannya … !
Dan setiap ia ditanyai kaum dan sanak saudaranya sebab­-sebab kegembiraannya itu, padahal tulang-belulang ayah masih terjemur di panas terik matahari padang Badar, ia lalu menepuk­kan kedua telapak tangannya dengan bangga sambil berkata kepada orang-orang itu: “Bersenang hatilah kalian karena bakal ada satu kejadian yang akan datang beritanya dalam beberapa hari lagi, yang akan menghapus malu kita di perang Badar … !
Setiap pagi ia keluar ke tempat ketinggian di pinggiran kota Mekah, menanyai kafilah-kafilah dan para penunggang kalau-kalau ada peristiwa penting terjadi di Madinah. Tapi jawaban mereka tidak ada yang menyenangkan dan meng­gembirakannya, karena tak ada seorang pun yang mendengar atau melihat suatu kejadian penting di Madinah. Shafwan tidak berputus asa, bahkan ia tetap shabar menanyai rombongan demi rombongan, hingga akhirnya ia menemukan sebagian mereka yang waktu ditanyainya: “Apa tak ada suatu kejadian di Madinah?”, mendapat jawaban dari musafir itu: “Benar, telah terjadi suatu kejadian besar – - – !”
Air muka Shafwan berseri-seri, seluruh kegembiraannya meluap dan melimpah ruah. Ia kembali menanyai orang itu dengan bergegas karena dorongan ingin tabu: “Apa sebenarnya yang terjadi, tolong ceriterakan kepadaku”. Jawab orang itu: “Umeir bin Wahab telah memeluk Islam, ia di sana sedang memperdalam Agama dan mempelajari al-Qur’an … !”
Bumi rasa berputar bagi Shafwan . . . . Peristiwa yang diharap-harapkannya akan dapat menggembirakan kaumnya, dan selalu dinantikannya untuk melupakan kejadian perang Badar, tabu-tabu hari itu berita itu yang datang kepadanya, yang bagai­kan petir menyambarnya.
Pada suatu hari sampailah sang musafir di kampung halaman­nya . . . . Umeir telah kembali ke Mekah, tak lupa membawa pedangnya dan siap untuk bertempur. Dan orang yang mula­-mula menjumpainya ialah Shafwan bin ‘Umaiyah . . . . Baru Baja Shafwan melihatnya, bermaksudlah ia hendak menyerang Umeir. Akan tetapi melihat pedang yang siaga di tangan Umeir ia pun mengurungkan maksudnya, dan merasa puas dengan melontar­kan caci maki padanya kemudian berlalu . . . .
Sekarang Umeir bin Wahab masuk ke kota Mekah sebagai seorang Muslim, sedang sewaktu meninggalkannya ia adalah seorang musyrik. Dimasukinya kota itu dan dalam ingatannya tergambar sikap Umar bin Khatthab mula ia masuk Islam, yang setelah Islamnya itu menyerukan: “Demi Allah, tidak akan ku­biarkan satu tempat pun yang pernah kududuki dengan kekafiran, melainkan akan kududuki lagi dengan keimanan … !
Seolah-olah Umeir hendak menjadikan kata itu sebagai lambang dan pendirian ini. menjadi contoh teladan. Ia telah bertekad bulat hendak menyerahkan hidupnya untuk berbakti kepada Islam, yang sekian lama diperanginya. Dan ia mem­punyai kemampuan dan kesempatan untuk membalas setiap kejahatan yang hendak ditimpakan kepadanya!
Demikianlah ia mengganti dan mengimbangi apa-apa yang telah luput pada masa silamnya, berpacu dengan waktu mengejar tujuannya. Ia berda’wah menyebarkan Agama Islam, baik Siang maupun malam, secara terang-terangan dan terbuka . . . Keimanan yang telah terhunjam di hatinya, telah melimpahkan rasa aman, petunjuk dan cahaya. Dari lidah dan ucapannya keluar kalimat dan kata-kata yang haq, yang digunakannya untuk menyeru orang kepada keadilan, kebaikan dan kebajikan. Sedang di tangan kanannya tergenggam teguh pedangnya yang akan me­ngecutkan hati setiap penghalang jalan menuju kebaikan, yakni mereka yang selalu mengganggu orang-orang beriman dan hendak membawa mereka ke jalan yang bengkok.
Dalam beberapa minggu saja, orang-orang yang mendapat petunjuk masuk Islam berkat usaha Umeir bin Wahab melebihi perkiraan yang melintas dalam angan-angan Umeir. Umeir pergi membawa mereka dalam satu barisan yang panjang dan terang­-terangan ke Madinah. Padang pasir yang mereka lalui dalam perjalanan itu, seolah-olah tak dapat menyembunyikan ketakjuban dan keheranannya, terhadap pria yang belum lama berselang melintasi dengan pedang terhunus menggerakkan setiap langkahnya ke Madinah untuk membunuh Rasul . . . . Kemudian laki-laki itu Pula yang melintasinya sekali lagi dari Madinah, tetapi wajahnya berlainan dengan wajah semula ketika ia pergi; sekarang ia membaca al-Quran dari atas punggung untanya yang ikut gembira ….
Dan kini, laki-laki itulah juga telah mengarungi Padang pasir yang sama untuk ketiga kalinya, mengepalai suatu rom­bongan iring-iringan yang panjang dari orang-orang yang beriman yang suara tahlil dan takbir mereka bergema memenuhi ang­kasa….
Sungguh benar, ia merupakan suatu berita besar …. berita tentang seorang Jagoan Quraisy dengan hidayah Allah telah merubahnya menjadi seorang pembela berani mati di antara pembela-pembela Islam lainnya. Ia yang selalu siap sedia di samping Rasul pada setiap peperangan dan pertempuran, dan yang kesetiaan serta baktinya kepada Agama Allah tetap teguh tidak berubah setelah Rasul wafat!
Di hari pembebasan kota Mekah, Umeir tak hendak me­lupakan shahabat dan karibnya Shafwan bin ‘Umaiyah, ia pergi untuk menyampaikan kepadanya kebaikan Islam dan meng­ajaknya untuk memeluknya, setelah ternyata tak ada lagi kesangsian terhadap kebenaran Rasul dan risalat. Tapi Shafwan telah bersiap-siap dengan kendaraannya menuju Jeddah untuk berlayar ke Yaman ….
Umeir sangat kecewa dan merasa kasihan melihat sikap Shafwan, maka dibulatkannya tekad hendak menyelamatkan shahabatnya itu dari jalan kesesatan. Ia pun segera pergi kepada Rasulullah saw., lalu berkata kepadanya: “Ya Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya, ia hendak pergi melarikan diri dengan menerjuni laut karena takut daripada anda. Maka mohon anda beri ia keamanan dan perlindungan, semoga Allah melimpahkan karunia-Nya kepada anda!”
Jawab Nabi: “Dia aman!”
Kata Umeir Pula: “Ya Rasul Allah, berilah aku suatu tanda sebagai bukti keamanan dari anda!” Maka Rasulullah saw. memberikan sorbannya yang dipakainya sewaktu memasuki kota Mekah.
Sekarang mari kita serahkan kepada ‘Urwah bin Zuber untuk menceriterakan kejadian itu selengkapnya:
“Umeir pun pergilah dengan sorban itu mendapatkan Shaf­wan yang ketika itu sudah hendak berlayar. Serunya kepadanya: “Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu! Ingatlah kepada Allah, janganlah engkau silap dan berputus asa! Inilah tanda keamanan dari Rasulullah saw. yang sengaja aku bawa untukmu!”
Ujar Shafwan, “Nyahlah engkau tak perlu bercakap denganku!” Jawab Umeir Pula: “Benar Shafwan, jaminanmu ayah dan ibuku, sesungguhnya Rasulullah saw. itu adalah manusia yang paling utama, paling banyak kebajikannya, paling penyantun dan paling baik. Kemuliaannya kemuliaanmu, martabatnya marta­batmu … !”
Kata Shafwan: “Aku takut terhadap diriku …
Kata Umeir: “Beliau orang yang paling penyantun dan paling mulia, lebih dari apa yang engkau duga!”
Maka akhirnya Shafwan bersedia ikut kembali. Mereka berdiri di muka Rasulullah saw., lalu kata Shafwan: “Kawan ini mengatakan bahwa anda telah memberiku jaminan keamanan!” Jawab Rasul: “Betul!”
Kata Shafwan lagi: “Berilah aku kes6mpatan memilih selama dua bulan!”
Balas, Rasul Pula: “Engkau diberi kebebasan memilih selama empat bulan!” Kemudian Shafwan pun Islamlah. Dan tak ter­kirakan bahagianya Umeir dengan Islamnya Shafwan shahabatnya itu
Umeir bin Wahab pun melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh berkah menuju Allah Ta’ala mengikuti jejak Rasul’Besar yang diutus Allah kepada ummat manusia untuk melepaskan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang ….

0 komentar:

Lokasi