ZUBAIR BIN AWWAM


Kamis, 01 Desember 2011


PEMBELA RASULULLAH SAW.

Setiap tersebut nama Thalhah, pastilah disebut orang nama Zubair! Begitu pula setiap disebut nama Zubair, pastilah disebut orang pula nama Thalhah . . . ! Maka sewaktu Rasulullah saw. mempersaudarakan para shahabatnya di Mekah sebelum Hijrah, beliau telah mempersaudarakan antara Thalhah dengan Zubair.
Sudah semenjak lama Nabi saw. memperkatakan keduanya secara bersamaan . . . , seperti kata beliau: “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di dalam surga”. Dan kedua mereka berhimpun bersama Rasul dalam kerabat dan keturunan.
Adapun Thalhah bertemu asal-usul turunannya dengan Rasul pada Murrah bin Ka’ab. Sedang Zubair bertemu pula asal­-usulnya dengan Rasulullah pada Qusai bin Kilab, sebagaimana pula ibunya Shafiah, adalah saudara bapak Rasulullah
Thalhah dan Zubair, kedua mereka banyak persamaan satu sama lain dalam aliran kehidupan Persamaan di antara keduanya sangat banyak: dalam pertumbuhan di masa remaja . . . kekaya­an, kedermawanan, keteguhan beragama dan kegagah-beranian. Keduanya termasuk orang-orang angkatan pertama masuk Iislam . . . dan tergolong kepada sepuluh orang yang diberi kabar gembira oleh Rasul masuk surga. Keduanya juga sama termasuk kelompok shahabat ahli musyawarah yang enam, yang diserahi tugas oleh Umar bin Khatthab memilih Khalifah sepeninggal­nya….
Akhir hayatnya juga bersamaan secara sempurna . bahkan satu sama lain tidak berbeda … ! Sebagaimana telah kita katakan, Zubair termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Iislam, karena ia adalah dari golongan tujuh orang yang mula-mula menyatakan keiislamannya, dan sebagai perintis telah memainkan peranannya yang penuh berkat di rumah Arqam ….
Usianya waktu itu baru limabelas tahun. Dan begitulah ia telah diberi petunjuk, nur dan kebaikan selagi masih remaja . . . . Ia benar-benar seorang penunggang kuda dan berani sejak kecilnya , . . hingga ahli sejarah menye­butnya bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Iislam adalah Zubair bin ‘Awwam.
Pada hari-hari pertama dari Iislam, sementara Kaum Muslimin waktu itu sedikit sekali hingga mereka selalu bersembunyi­sembunyi di rumah Arqam, tiba-tiba pada suatu hari tersebar berita bahwa Rasul terbunuh.
Seketika itu, tiada lain tindakan Zubair kecuali menghunus pedang dan mengacungkannya, lalu ia berjalan di jalan-jalan kota Mekah laksana tiupan angin kencang, padahal ia masih muds belia . . . ! Ia pergi mula-mula meneliti berita tersebut dengan bertekad seandainya berita itu ternyata benar, maka niscaya pedangnya akan menebas semua pundak orang Quraisy, sehingga ia mengalahkan mereka, atau mereka menewaskan­nya….
Di suatu tempat ketinggian kota Mekah, Rasulullah me­nemukannya, lalu sertanya akan maksudnya. Zubair menyampai­kan berita tersebut …. Maka Rasulullah memohonkan bahagia dan mendu’akan kebaikan baginya serta keampuhan bagi pedangnya.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang dalam kaumnya, namun tak kurang ia menanggung adzab derita dan penyiksaan Quraisy. Yang memimpin penyiksaan itu adalah pamannya sendiri. Pernah ia disekap di suatu kurungan, kemu­dian dipenuhi dengan embusan asap api agar sesak nafasnya, lalu dipanggilnya Zubair di bawah tekanan siksa: “Tolaklah olehmu Tuhan Muhammad itu, nanti kulepaskan kamu dari siksa ini!”Tantangan itu dijawab oleh Zubair dengan pedas dan mengejutkan: “Tidak . . . demi Allah, aku tak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya!” Padahal pada waktu itu ia belum menjadi pemuda teruna, masih belia bertulang lembut – - – -
Zubair melakukan hijrah ke Habsyi (Ethiopia) dua kali, yang pertama dan yang kedua, kemudian ia kembali, untuk menyertai ketinggalan semua peperangan bersama Rasulullah. Tak pernah ia ketinggalan dalam berperang atau bertempur. Banyaknya tusukan dan luka-luka yang terdapat pada tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu sembuh membuktikan pula kepahlawanan Zubair dan keperkasaannya . . . ! Maka marilah kita dengarkan bicara salah seorang shahabatnya yang telah menyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat hampir pada segenap bagian tubuhnya, demikian katanya: “Aku pernah menemani Zubair ibnul ‘Awwam pada sebagian perjalanan dan’ aku melihat tubuhnya, maka aku saksikan banyak sekali bekas luka goresan pedang, sedang di dadanya terdapat seperti mata air yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah . . . . Maka kataku kepadanya: “Demi Allah, telah ku­saksikan sendiri pada tubuhmu apa yang belum pernah kulihat pada orang lain sedikit pun . . . !” Mendengar itu Zubair men­jawab: “Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah pada peperangan di jalan Allah
Ketika perang Uhud usai dan pasukan Quraisy berbalik kembali ke Mekah, ia diutus Rasul bersama Abu Bakar untuk mengikuti gerakan tentara Quraisy dan menghalau mereka, hingga mereka menganggap Kaum Muslimin masih punya kekuat­an, dan tidak terpikir lagi untuk kembali ke Madinah guna memulai peperangan yang baru.
Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh orang Mus­limin. Sekalipun mereka sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang menang, namun kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh ash-Shiddiq dan Zubair, membuat orang­-orang Quraisy menyangka bahwa mereka salah duga menilai kekuatan Kaum Muslimin, dan membuat mereka berfikir, bahwa pasukan perintis yang dipimpin oleh Zubair dan ash-Shiddiq dan tampak kuat, tak lain sebagai pendahuluan dari bala tentara Rasul yang menyusul di belakang, dan akan tampil menghalau mereka dengan dansyat. Karena itu mereka bergegas memper­cepat perjalanannya dan mengambil langkah seribu pulang ke Mekah!
Di samping Yarmuk, Zubair merupakan seorang prajurit yang memimpin langsung suatu pasukan …. Sewaktu ia melihat sebagian besar anak buah yang dipimpinnya merasa gentar menghadapi bala tentara Romawi yang menggunung maju, ia meneriakkan “Allahu Akbar” . . . dan maju membelah pasukan, musuh yang mendekat itu seorang diri dengan mengayunkan pedangnya, kemudian ia kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan pedang di tangan kanannya, menari-nari dan berputar bagaikan kincir, tak pernah melemah apalagi berhenti ….
Zubair r.a. sangat gandrung menemui syahid! Amat merindu­kan mati di jalan Allah.’ Ia pernah berkata: “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama Nabi-nabi padahal sudah sama diketahui bahwa tak ada Nabi lagi sesudah Muhammad saw. . . . maka aku menamai anak-anakku dengan nama para syuhada, semoga mereka berjuang mengikuti syu­hada . . . ! Begitulah dinamainya seorang anaknya Abdullah bin Zubair mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Abdullah bin Jahasy.
Dinamainya pula seorang lagi al-Munzir mengambil berkat dengan shahabat yang syahid al-Munzir bin Amar. Dinamainya pula yang lain ‘Urwah mengambil berkat dengan ‘Urwah bin Amar. Dan ada pula yang dinamainya Ham­zah, mengambil berkat dengan syahid yang mulia Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada lagi Ja’far, mengambil berkat dengan syahid yang besar Ja’far bin Abu Thalib. Juga ada yang dinama­kannya Mush’ab mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Mush’ab bin Umeir. Tidak ketinggalan yang dinamainya Khalid mengambil berkat dengan shahabat Khalid bin Sa’id. Demikianlah ia seterusnya memilih untuk anak-anaknya nama para syuhada, dengan pengharapan agar sewaktu datang ajal mereka nanti, mereka tercatat sebagai syuhada … !
Dalam riwayat hidupnya telah dikemukakan:”bahwa ia tak pernah memerintah satu daerah pun, tidak pula mengumpul pajak atau bea cukai, pendeknya tak ada jabatannya yang lain kecuali berperang pada jalan Allah . . . “. Kelebihannya sebagai prajurit perang tergambar pada pengandalannya pada dirinya sendiri secara sempurna dan kepercayaan yang teguh. Sekalipun sampai seratus ribu orang menyertainya di medan tempur, namun akan kau lihat bahwa ia berperang seakan-akan sendirian di arena pertempuran …. dan seolah-olah tanggung jawab perang dan kemenangan terpikul di atas pundaknya sendiri.
Keistime­waannya sebagai pejuang, terlukis pada keteguhan hatinya dan kekuatan urat syarafnya. Ia menyaksikan gugur pamannya Hamzah di perang Uhud. Orang-orang musyrik telah menyayat­-sayat tubuhnya yang terbunuh itu dengan kejam, maka ia berdiri di mukanya dengan sikap satria menahan gejolak hati dengan memegang teguh hulu pedangnya. Tak ada fikirannya yang lain daripada mengadakan pembalasan yang setimpal, tapi wahyu segera datang melarang Rasul dan Muslimin hanya mengingat soal itu saja
Dan sewaktu pengepungan atas Bani Quraidha sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah mengirimnya bersama. Ali bin Abi Thalib. Ia berdiri di muka benteng musuh yang kuat Serta mengulang-ulang ucapannya: “Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang dirasakan Hamzah, atau kalau tidak, akan kami tundukkan benteng mereka … !” Kemudian ia terjun ke dalam benteng hanya berdua saja dengan Ali …. Dan dengan kekuatan urat syaraf yang mempesona, mereka berdua berhasil menyebarkan rasa takut pada musuh yang bertahan dalam benteng, lalu membukakan pintu-pintu benteng tersebut bagi kawan-kawan mereka di luar … !
Di perang Hunain, Zubair melihat pemimpin suku Hawazin yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang tersebut namanya Malik bin Auf . . . , terlihat olehnya sesudah pasukan Hawazin bersama panglimanya lari tunggang langgang dari medan perang Hunain, ia sedang berdua di tengah-tengah gerombolan besar shahabat-shahabatnya bersama sisa pasukan yang kalah, maka secara tiba-tiba diserbunya rombongan itu seorang diri, dan dikucar-kacirkannya kesatuan mereka, kemudi­an dihalaunya mereka dari tempat persembunyian yang mereka gunakan sebagai pangkalan untuk menyergap pemimpin-pemim­pin Iislam yang baru kembali dari arena peperangan.
Kecintaan dan penghargaan Rasul terhadap Zubair luar biasa sekali, dan Rasulullah sangat membanggakannya, katanya: “setiap Nabi mempunyai pembela dan pembe itu adalah Zubair bin ‘Awwam … !” Karena bukan saja ia saudara sepupunya dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang mempunyai dua puteri semata, tapi lebih dari itu adalah karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang perkasa, kepemurahannya yang tidak terkira dan pengorbanan diri dan hartanya untuk Allah Tuhan dan islam semata. Sungguh, Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali, katanya: “Ia berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakan­nya, tak hendak menyimpang dari padanya. Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.
Ia adalah seorang berkuda yang termasyhur, dan pahlawan yang gagah perkasa.
Merajalela di medan perang dan ditakuti di setiap arena. Dengan Rasulullah mempunyai pertalian darah dan masih berhubungan keluarga.
Dan dalam membela islam mempunyai jasa-jasa yang tidak terkira.
Betapa banyaknya mara bahaya yang mengancam Rasulullah Nabi al-Musthafa.
Disingkirkan Zubair dengan ujung pedangnya, maka semoga Allah membalas jasa-jasanya”.
Ia seorang yang berbudi tinggi dan bersifat mulia . . . . Ke­beranian dan kepemurahannya seimbang laksana dua kuda satu tarikan . . . ! Ia telah berhasil mengurus perniagaannya dengan gemilang, kekayaannya melimpah, tetapi semua itu dibelanja­kannya untuk membela islam, sehingga ia sendiri mati dalam berutang . . . ! Tawakkalnya kepada Allah merupakan dasar kepemurahannya, sumber keberanian dan pengorbanannya .. . hingga ia rela menyerahkan nyawanya, dan diwasiatkannya kepada anaknya Abdullah untuk melunasi utang-utangnya, demikian pesannya:
“Bila aku tak mampu membayar utang, minta tolonglah kepada Maulana … induk semang kita … “.
Lalu ditanya anaknya Abdullah: “Maulana yang mana bapak maksudkan . . . ?” Maka jawabnya: “Yaitu Allah Induk Semang dan Penolong kita yang paling utama … !”
Kata Abdullah kemudian: “Maka demi Allah, setiap aku terjatuh ke dalam kesukaran karena utangnya, tetap aku memohon: “Wahai Induk Semang Zubair, lunasilah utangnya, maka Allah mengabulkan permohonan itu, dan alhamdulillah hutang pun dapat dilunasi . . . “.
Dalam perang Jamal sebagaimana telah kami utarakan dalam ceriteranya yang lalu mengenai Thalhah, Zubair menemui akhir hayat dan tempat kesudahannya . . . . Sesudah ia menyadari kebenaran .dan berlepas tangan dari peperangan, terus diintai oleh golongan yang menghendaki terus berkobarnya api fitnah, lalu ia pun ditusuk oleh seorang pembunuh yang curang waktu ia sedang lengah, yakni di kala ia sedang shalat menghadap Tuhannya ….
Si pembunuh itu pergi kepada Imam Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya terhadap Zubair, dengan dugaan bahwa kabar itu akan membuat Ali bersenang hati, apalagi sambil menanggalkan pedang-pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah melakukan kejahatan tersebut . . . .
Tetapi Ali berteriak demi mengetahui bahwa di muka pintu ada pembunuh Zubair yang minta idzin masuk dan memerintah­kan orang untuk mengusirnya, katanya: “Sampaikan berita kepada pembunuh putera ibu Shafiah itu, bahwa untuknya telah disediakan api neraka … !” Dan ketika pedang Zubair ditunjuk­kan kepada Ali oleh beberapa shahabatnya, ia mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya: “Demi Allah, pedang ini sudah banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk. melindungi Rasulullah dari marabahaya . . . “.
Dalam mengakhiri pembicaraan kita mengenai dirinya,
apakah masih ada penghormatan yang lebih indah dan berharga untuk dipersembahkan kepada Zubair, dari ucapan Imam Ali sendiri … ? Yaitu :
“Selamat dan bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya . . . ! Selamat, kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah …

0 komentar:

Lokasi