KHABBAB BIN ARATS


Kamis, 01 Desember 2011


GURU BESAR DALAM BERQURBAN

Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.
Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab, sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air alamat sukacita . . . , maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.
Mereka segera menanyakan kepada Khabbab:
“Sudah selesai­kah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?”
Sementara itu air mata Khabbab sudah kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, katanya: “Sungguh, keadaannya amat mena’jubkan!”
Orang-orang itu kembali sertanya kepadanya:”Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan … ? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat . . . ?”Dengan pandangannya yang menerawang seolah‑olah mimpi,Khabbab lalu sertanya: “Apakah tuan-tuan sudah melihatnya … ? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya … !’
Mereka Saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan
Dan salah seorang di antara mereka kembali sertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: “Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab … ?”
Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik sertanya: “Siapa maksudmu … ?”
“Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!” ujar orang tadi dengan marah.
Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memper­lihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang . . . . Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawab­an, katanya:
“Benar… , saya telah melihat dan mendengarnya …
Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya…!
sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru: “Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar . . . !’
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut:
“Siapa lagi, hai Arab shahabatku Siapa lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia. se­orang … ?”
seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula: “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad . . .”. Khabbab menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya:
“Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk mem­bebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang
Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya,begitupun apa yang diucapkan orang kepadanya . . . . Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, sedang tubuh bengkak-bengkak dan tulang-tulangnya terasa sakit, dan darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya
Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam …. kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri ….
Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau ….
Memang . . . , kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya ….
Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad saw. pada hari itu, merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia     ?
Demikianlah Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan penderitaan baru . . . . ! Dan mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya . .. ! Didapatkannya kedudukan itu di antara, orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani tegak menghadapi ke‑ sombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka . . . ! Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. la berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, Serta menyampai­kan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya. Ia akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya ….
Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tang­gung jawab semua itu sebagai seorang perintis.
“Berkatalah Sya’bi:
Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya . . . !”
Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab . . . . Dan pernah pada suatu hari ia pergi bersama kawan-kawannya sependeritaan menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan, kata mereka:
“Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memintakan per­tolongan bagi kami … ?”
Yah, marilah kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:
“Kami pergi mengadu kepada Rasulullah saw. yang ketika itu sedang tidur berbantalkan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Permohonan kami kepadanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memohonhan kepada Allah pertolongan bagi kami . . . . ?” Rasulullah saw. pun duduk, mukanya jadi merah, lalu sabdanya: “Dulu se­belum kalian, ado seorang laki-lahl yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali leher ke atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari Agama­nya . . . ! Ada pula yang disikat antara daging dan tulang­-tulangnya dengan sikat besi, juga tidak dapat menggoyah­kan keimanannya …. Sungguh Allah akan menyempur­nakan hal tersebut, hingga setiap pengembara yang bepergi­an dari Shan’a ke Hadlramaut, tiada takut kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jolla, walaupun serigala ada di antara hewan gembalaannya, tetapi saudara-saudara terburu­buru f!”
Khabbab dengan kawan-kawannya mendengarkan kata-kata itu, bertambahlah keimanan dan keteguhan hati mereka, dan masing-masing mereka berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya hal yang diharapkan dari mereka, ialah ketabahan, keshabaran dan pengurbanan.
Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan dengan shabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraisy terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam me­nyiksa dan menderanya.
Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu me­naruhnya di atas kepada dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira … !
Pada suatu hari Rasulullah saw. lewat di hadapannya, sedang besi yang membara di atas kepalanya membakar dan meng­hanguskannya, hingga kalbu Rasulullah pun bagaikan terangkat karena pilu dan iba hati ….
Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh Rasulullah saw. untuk menolong Khabbab waktu itu . . . ? Tidak ada . . . , kecuali meneguhkan hatinya dan mendu’akannya Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya ter­kembang ke arah langit, sabdanya memohon:
“Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khab­bab!”
Dan kehendak Allah pun berlakulah, selang beberapa hari Ummi Anmar menerima hukuman qishas, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Ia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. menurut keterangan ahli sejarah ia melolong seperti anjing……………
Dan dinasihatkan orang mengenai dirinya bahwa satu-satunya jalan atau obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyeterika kepalanya dengan besi menyala . . . ! Demikianlah kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang
Jika orang-orang Quraisy hendak mematahkan keimanan dengan siksa maka orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengurbanan I Dan Khabbab adalah salah seorang yang dipilih oleh taqdir untuk menjadi guru besar dalam ilmu tebusan dan pengurbanan …. Boleh dikata seluruh waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk Agama yang panji-panjinya mulai berkibar ….
Di masa-masa da’wah pertama, Khabbab r.a. tidak merasa cukup dengan hanya ibadat dan shalat semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengajar. Didatanginya rumah sebagian temannya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraisy, lalu dibaca­kannya kepada mereka ayat-ayat al-Quran dan diajarkannya
Ia mencapai kemahiran dalam belajar al-Quran yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan mengenai dirinya, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa ingin membaca al-Quran tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Umrni
‘Abdin! ” . . . , hingga Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab bagai tempat sertanya mengenai soal-soal yang bersangkut paut dengan al-Quran , baik tentang hafalan maupun pelajaran­ya
Khabbab adalah juga yang mengajarkan al-Quran kepada athimah binti Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Khatthab yang datang dengan pedang di pinggang untuk membuat perhitungan dengan Agama islam dan Rasulullah saw. Tetapi demi dibacanya ayat-ayat Quran yang termaktub pada lembaran yang dipergunakanoleh Khabbab untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya ang barkah: “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad
Dan ketika Khabbab mendengar ucapan Umar itu, ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, serunya:
“Wahai Umar! Demi Allah, saya berharap kiranya ‘kamulah yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan per­mohonan Nabi-Nya saw. Karena kemarin saya dengar ia memohon:
“Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah seorang di antara dug lelaki yang lebih Engkau sukai: Abul Hakam bin Hisyam dan Umar bin Khatthab . . . ! “
Umar segera. menyahut: “Di mana saya dapat menemuinya orang ini, hai Khabbab?” “Di Shafa”, ujar Khabbab, “yaitu rumah Arqam bin Abil Arqam”. Maka pergilah Umar men­patkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia . . . . !
Khabbab ibnul Arat menyertai Rasulullah saw. dalam semua erangan dan pertempurannya, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan keyakinannya ….
Dan ketika Baitulmal melimpah ruah dengan harta kekayaan di masa pemerintahan Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuma, maka Khabbab beroleh gaji besar, karena termasuk golongan Muhajirin yang mula pertama masuk Islam.
Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu yang dikenal oleh para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu ….
Walaupun demikian, Khabbab tak pernah tidur nyenyak dan tak pernah air matanya kering setiap teringat akan Rasul­ullah saw. dan para shahabatnya yang telah membaktikan hidup­nya kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi Kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka.
Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia r.a. dalam sakit yang mem­bawa ajalnya. Kata mereka kepadanya: “Senangkanlah hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-­teman sejawat anda !”
Maka ujarnya sambil menangis:
“Sungguh, saya tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi tuan-tuan telah mengingatkan saya kepada para shahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka men­dapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga . . . ! Sedang kita .. , kita masih tetap hidup dan beroleh kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah.”
Kemudian ditunjuknya rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta ke­kayaan, Serta katanya:
“Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tak pernah saya halanginya terhadap yang meminta …!
Dan setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan, katanya sambil mengalir air matanya:
“Lihatlah ini kain kafanku …!
Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah saw. ketika gugur sebagai salah seorang syuhadah hanyalah burdah ber­warna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya   …!”
Khabbab berpulang pada tahun 37 Hijriah. Dengan demikian ahli membuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan pengurbanan dalam Islam telah berpulang …. !
Laki-lali yang termasuk dalam jama’ah yang diturunkan al­Quran untuk membelanya, dan yang dilindungi sewaktu sebagi­an para bangsawan Quraisy menuntut agar Rasulullah saw. me­nyediakan untuk menerima mereka pada suatu hari tertentu, sedang bagi orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib dan Bilal suatu hari tertentu pula ….
Kiranya al-Qur anul Karim merangkul laki-laki hamba Allah itu dengan penuh kemuliaan dan kehormatan, sementara ayat-­ayatnya berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia seperti berikut:
Dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya sepanjang pagi dan petang, mereka itu meng­hamp keridlaan-Nya . – . ! Engkau sedikit pun tidak di­minta pertanggungjawaban – yang menjadi perhitungan bagi mereka. Begitu pun perhitungan bagimu tidak akan dimintakan tanggung jawab mereka sedikit pun. Apabila engkau mengusir mereka, pasti engkau termasuk orang­orang dhalim.
Demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian lainnya, sehingga mereka berkata: Itukah orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kita … ? (Allah berfirman): Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur … ?
Dan jika datang kepadamu orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, ucapkanlah kepada mereka: Selamat bahagia bagi kalian, Tuhan kalian telah mewajib­kan diri-Nya rasa kasih sayang.
(Q.s.6 al-An’am: 52 — 54)
Demikianlah setelah turunnya ayat ini, maka Rasulullah saw. amat memuliakan mereka, dibentangkannya untuk mereka kainnya, dan dirangkulnya bahu mereka Serta sabdanya:
“Selamat datang bagi orang-orang yang diriku diberi washiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka … !”
Sungguh, salah seorang putera terbaik dari masa wahyu dan generasi pengurbanan telah wafat
Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah apa yang diucapkan oleh Imam Ali karamallahu wajhah ketika ia kembali dari perang Shiffin dan kebetulan pandangannya jatuh atas sebuah makam yang basah dan segar, maka tanyanya: “Makam siapa ini . . . ?” “Makam Khabbab”, ujar mereka. Maka lama sekali ia merenunginya dengan hati khusyudan duka, lalu katanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab, Yang dengan ikhlas menganut Islam dengan penuh se­mangat ….
Mengikuti hijrah sernata-mata karena taat ….
Seluruh hidupnya dibaktikan dalam perjuangan membasmi ma’siat …. “

0 komentar:

Lokasi