Kebutuhan untuk meregulasi bank sebagai institusi bermula dari adanya risiko yang melekat (inherent) pada sistem perbankan. Tidak seperti industri mobil, bank menawarkan sebuah produk yang digunakan oleh setiap nasabah, baik komersial maupun perorangan, yaitu uang. Oleh karena itu kegagalan dari sebuah bank (baik kegagalan sebagian maupun keseluruhan), dapat menimbulkan dampak pada perekonomian secara menyeluruh dan disebut dengan ‘risiko sistemik’.
Risiko sistemik adalah risiko di mana kegagalan sebuah bank dapat menimbulkan dampak yang menghancurkan perekonomian secara besar-besaran dan bukan hanya dampak berupa kerugian yang secara langsung dihadapi oleh pegawai, nasabah dan pemegang saham.
Walaupun tidak setiap orang mengenal istilah risiko sistemik, banyak orang mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘bank rush’ (penarikan dana besar-besaran dari bank). Hal ini dapat terjadi saat sebuah bank tidak dapat memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain bank tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar para deposan yang ingin menarik dana mereka. Perlu diperhatikan bahwa ketidakmampuan memenuhi kewajiban dan membayar kembali para deposan belum tentu menunjukkan kondisi yang sebenarnya; bisa jadi ketidakmampuan ini hanya sebatas persepsi nasabah.
Contoh
Penarikan dana besar-besaran
Penarikan dana besar-besaran
Bank A di-isu-kan telah memberikan kredit yang jumlahnya cukup besar dan macet sehingga mengakibatkan bank mengalami kerugian. Isu tersebut menyebabkan para deposan bank tersebut menarik simpanan mereka. Jika Bank A tidak memiliki kas yang cukup, para deposan tidak akan dapat menarik uang mereka, yang pada gilirannya akan semakin memperbesar kekhawatiran atas stabilitas bank itu. Apabila hal ini terjadi, maka akan menyebabkan lebih banyak deposan yang berusaha menarik simpanan mereka. Terlepas dari benar-tidaknya isu yang beredar mengenai bank tersebut, penarikan dalam jumlah besar tersebut dapat membuat Bank A tidak mampu melanjutkan bisnisnya.
Kegagalan Bank A menyebabkan dihentikannya pemberian kredit, karena bank tidak lagi memiliki simpanan untuk mendanai kredit tersebut. Jika Bank A cukup besar maka penghentian pemberian kredit (atau kegagalan bank) dapat menyebabkan dampak kepada perekonomian lokal. Jika bank tersebut memiliki operasional yang sifatnya global, maka dampak yang akan ditimbulkan jauh lebih besar lagi.
Solvabilitas sebuah bank bukan saja merupakan perhatian para pemegang saham, nasabah dan pegawainya, namun juga menjadi perhatian pengelola perekonomian secara keseluruhan.
Pembaca disarankan melihat kembali neraca yang diberikan pada contoh di Bagian 1.1.1. Bank dalam contoh tersebut memiliki simpanan sebesar USD 820 juta dari para nasabah tetapi hanya tersedua kas senilai USD 10 juta untuk membayar deposan secara langsung. Untuk mendapatkan lebih banyak uang tunai bank dapat menjual obligasi pemerintah yang dimiliki dan mendapatkan tambahan USD 100 juta. Jika bank masih berusaha mendapatkan lebih banyak dana dengan usaha-usaha lainnya, bisa jadi bank akhirnya terpaksa menjual ataupun menghentikan kredit.
Contoh
Krisis Continental Illinois Bank
Krisis Continental Illinois Bank
Pada bulan Mei 1984 Continental Illinois Bank di AS mengalami bank rush atas simpanannya. Hal ini diakibatkan oleh risiko kredit yang buruk, khususnya kredit yang diambil alih dari Penn Square Bank yang ditutup pada tahun 1982 dan membuat Continental Illinois tidak pernah benar-benar pulih. Kredit macet milik Continental Illinois meningkat hingga USD 2,3 miliar pada bulan April 1984, yaitu sebesar 7,7% dari kredit yang diberikan. Bank dalam keadaan rentan (vulnerable) karena sangat tergantung kepada simpanan jangka pendek bernominal besar (whole-sale). Keadaan menjadi buruk ketika simpanan besar tersebut tidak lagi diperpanjang pada saat jatuh tempo.
Tahun 1984 Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mengambil-alih utang Continental Illinois sebesar USD 3,5 miliar. Penghimpunan dana yang bersifat global dan berjumlah besar yang dilakukan Continental Illinois membuat Federal Reserve maupun FDIC harus campur tangan untuk menghindari risiko penarikan besar-besaran pada bank besar AS lainnya oleh para deposan asing.
Sebelum tahun 1930-an, permasalahan pada solvabilitas bank, bahkan bank rush, cukup sering terjadi (krisis keuangan seperti ini terjadi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 1933 sedangkan di Inggris pada tahun 1957). Keadaan ini mendorong pemerintah untuk mengendalikan bank melalui regulasi, dengan memastikan bahwa bank memiliki modal dan likuiditas yang cukup. Otoritas pengawas perbankan (biasanya bank sentral) berupaya memastikan agar bank dapat:
memenuhi permintaan deposan (pada tingkat yang wajar) untuk mendapatkan uangnya kembali tanpa menarik kembali kredit yang telah diberikan bank
mempertahankan tingkat kerugian yang wajar akibat kredit macet atau siklus penurunan kegiatan ekonomi (bertahan pada saat terjadi resesi).
Tingkat kapitalisasi dan likuiditas pada awalnya tidak ditetapkan secara tegas. Modal-pun sering hanya dikaitkan dengan prosentase tertentu dari jumlah kredit. Dalam menetapkan jumlah modal sebagai prosentase suatu jenis kredit, jelas terlihat bahwa ada ‘mata rantai yang hilang’ dalam memperhitungkan tingkat modal yang tepat bagi bank. Mata rantai yang hilang ini dijelaskan dengan menggunakan contoh berikut.
Contoh
Bank A hanya memberikan kredit kepada pemerintah, dan selalu dapat mengasumsikan bahwa kredit itu akan dibayar kembali.
Bank B hanya memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang baru berdiri. Bank B tidak dapat membuat asumsi yang sama dengan Bank A karena terdapat kemungkinan beberapa atau bahkan sebagian besar perusahaan baru tersebut tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya.
Jelas bahwa pemberian kredit kepada kedua kelompok dalam contoh di atas akan menjadi suatu keseimbangan antara marjin yang dibebankan pada kredit tersebut dengan kerugian yang dapat terjadi. Investor potensial di Bank A atau Bank B harus membuat keputusan antara risk dan reward berdasarkan tingkat risiko yang bersedia diambil oleh bank dan seberapa besar reward yang ingin diperoleh. Dalam contoh di atas, Bank B akan berusaha mendapatkan marjin yang lebih tinggi daripada Bank A karena berpotensi mendapat kerugian yang lebih besar.
Dalam kasus Bank B, kredit macet tidak akan terjadi pada tingkat yang sama sepanjang waktu karena bisnis yang gagal akan semakin banyak pada saat resesi dibandingkan pada masa pertumbuhan ekonomi. Kredit macet terjadi pada saat sebuah bank tidak mampu mendapatkan kembali pokok kredit ataupun bunga dari kredit yang telah diberikan. Hal ini akan menyebabkan bank menderita kerugian yang besarnya dapat berubah-ubah (variable) dan modal bank akan terkikis karena bank harus menutup setiap kerugian yang terjadi.
Agar bank dapat tetap bertahan walaupun terjadi kredit macet, bank harus memiliki jumlah dana (modal) pada tingkat tertentu untuk menutupi kerugian yang terjadi. Pada contoh di atas, Bank B harus memiliki modal yang jauh lebih besar daripada Bank A. Hal ini karena Bank A memiliki kebijakan pemberian kredit yang lebih konservatif dan memiliki risiko yang tidak terlalu besar, walaupun marjinnya tidak terlalu menguntungkan.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa ‘mata rantai yang hilang’ dalam memperhitungkan tingkat modal yang tepat bagi bank adalah jumlah risiko yang dihadapinya.
Gejolak ekonomi dan risiko sistemik
Walaupun sudah dilakukan upaya diversifikasi portofolio dalam pemberian kredit, bank tetap akan menghadapi risiko-risiko ekonomi dari pasar domestik. Dalam hal ini, perekonomian sebuah negara dapat dipengaruhi oleh:
gejolak eksternal, dapat berbentuk bencana alam atau peristiwa yang disebabkan oleh manusia, dan/atau
kesalahan manajemen perekonomian.
kesalahan manajemen perekonomian.
Jumlah debitur macet pada bank yang berada dalam sebuah perekonomian sebagaimana digambarkan dapat meningkat secara signifikan. Hal ini dapat terjadi karena:
kualitas kredit perusahaan yang terpengaruh oleh keadaan perekonomian yang memburuk tingkat pengangguran yang meningkat pesat
naiknya tingkat suku bunga.
Pada prinsipnya bank akan sulit menghindari dampak dari gejolak ekonomi yang terjadi. Namun ada beberapa tindakan yang dapat diambil untuk me-mitigasi dampak negatif gejolak ekonomi tersebut, antara lain:
mematuhi regulasi (termasuk Basel II) yang semakin menuntut bank untuk menyusun berbagai skenario dalam menghadapi gejolak ekonomi dan memastikan bank memiliki modal yang cukup untuk melindungi stakeholder dari dampak gejolak ekonomi tersebut
melakukan estimasi tingkat kredit macet yang akan terjadi dan memastikan bank memiliki tingkat modal yang cukup
melakukan estimasi tingkat kredit macet yang akan terjadi dan memastikan bank memiliki tingkat modal yang cukup
Risiko dan modal
Contoh-contoh di atas menunjukkan dengan jelas keterkaitan antara risiko dengan modal. Semakin besar risiko yang dihadapi, maka semakin besar pula modal yang dibutuhkan. Bank diwajibkan untuk memiliki modal yang cukup untuk menutupi risiko yang dihadapi. Hal tersebut dikenal sebagai kecukupan modal (capital adequacy).
Dengan contoh-contoh di atas, semakin jelas bagi otoritas pengawas perbankan bahwa tingkat modal sebuah bank dan kemampuannya untuk menyerap kerugian dari kegiatan pemberian kredit dan kegiatan lainnya harus dikaitkan dengan risiko kegiatan usaha yang dihadapi. Dalam hal ini tingkat modal harus didasarkan pada tingkat risiko (modal berbasis risiko / risk-based capital).
Perkembangan pasar perbankan internasional pada tahun 1970-an dan 1980-an cenderung memberikan perhatian yang lebih besar pada perhitungan modal berbasis risiko. Kenaikan harga minyak yang demikian tinggi pada waktu itu memaksa negara-negara yang memiliki surplus dolar AS yang besar menginvestasikan kembali dolar tersebut ke negara-negara yang mengalami defisit yang besar. Hal ini membawa konsekuensi pada pertumbuhan pesat dan meningkatnya kompetisi di bidang perbankan internasional. Kondisi ini turut dipertimbangkan oleh otoritas pengawas perbankan dan memberikan penekanan bahwa bank dengan cakupan kegiatan bisnis internasional harus memiliki modal yang sesuai dengan risiko yang dimilikinya.
Perkembangan lainnya di bidang perbankan pada saat yang sama adalah semakin banyaknya pemberian kredit dalam bentuk sindikasi kepada perusahaan multinasional, negara-negara berkembang dan proyek-proyek berskala besar. Kesemuanya merupakan area yang baru bagi perbankan saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar